Mencinta dengan cara paling sederhana. Memandangnya dalam diam dan memastikan dia bahagia. Habibi termangu di depan kamar Hazelia, dinding kaca yang menjadi penghalang mereka saat itu menjadi saksi betapa lembut tatapan Habibi pada sosok wanita idaman.
Wanita yang memiliki rambut panjang itu terlihat sedang telelap dalam tidur. Habibi dapat memastikan dia sangat kelelahan. Ingin rasanya ia masuk dan membenarkan selimut yang menjuntai ke lantai. Masih mengenakan jaket dan kacamata baca, posisi tidur wanita ini terlihat sangat berantakan.
"Bahkan saat tidur tak beraturan seperti itu kau tampak cantik, Hazelia." Kata-kata itu lolos dengan sendirinya. Sang empu diri bahkan terkejut atas kelancangan ucapannya.
Tak ingin semakin hanyut dalam gejolak cinta, Habibi segera meninggalkan lantai atas untuk memasak. Menarik lengan baju hingga ke batas siku, pria itu memilah bahan-bahan seadanya di kulkas untuk diolah. Namun tak banyak yang ia dapatkan, hanya ada beberapa paprika dan telor.
Jam makan siang telah berlalu. Akan memakan waktu lama jika dia kembali ke kota untuk sekedar berbelanja. Meski kerap menemani Gibran bertandang ke kediaman ini, Habibi tak tahu banyak dengan lingkungan sekitar. Rumah ini juga terletak di muara perkampungan, dia tak tahu pasti apakah di perkampungan sana ada sebuah minimarket atau ... pasar mungkin? Ck!, pria itu menjadi bingung hanya karena tak menemukan bahan untuk dimasak.
"Habibi." Suara seseorang mengejutkannya.
"Kak Hazel." Tiba-tiba sang jantung berdetak kencang. Dia nampak canggung di hadapan wanita yang diam-diam dia sayangi.
Sambil melangkah memasuki dapur, Hazelia meletakan kacamata bacanya di meja makan, meraih cangkir dan menuang kopi hitam pekat.
"Maaf jika saya lancang memasuki dapur kakak."
"Santai saja. Apa kau hendak memasak? Apa si bocah nakal itu memperbudakmu lagi?"
Suasana menjadi cair. Habibi kini tersenyum menatap Hazelia, "Dia mengeluh kelaparan, dan memaksaku untuk menghidangkan makanan untuknya."
Mata coklat yang Habibi sukai itu kini menatapnya, "Jangan memanjakannya. Tadi pagi dia berlagak menawariku sarapan. Ternyata, dia memanggilmu ke sini untuk hal itu."
"Apa kakak tahu bahwa dia sedang demam?"
Hazelia cepat-cepat kembali menatap Habibu. "Gibran demam? Makhluk nakal itu demam?Cih! Dasar manja. Hanya terkena hujan sebentar saja sudah demam. Kau tahu wajahnya terlihat baik-baik saja saat mengolok-olokku pagi ini."
Habibi tak tahu harus berekspresi seperti apa, ia hanya menatap Hazelia.
"Apa karena aku menyuruhnya mencuci pakaian? Pakaian itu kotor karena ulahnya sendiri. Dia melempar baju-bajuku ke tengah hujan," ujar Hazelia lagi.
Habibi melirik halaman belakang, dan disanalah pakaian kakak beradik itu sedang dijemur. "Sepertinya dia demam karena langsung panas-panasan menjemur pakaian kalian." Pemuda ini berkata dengan kekehan.
Hazelia mendekati Habibi, mendongakkan kepala ke arah halaman belakang.
DEG!! Jantung pria berkacamata itu berdetak tak karuan. Matanya bergetar memandang wajah Hazelia yang sangat dekat padanya.
"Dasar lemah!" Kesal wanita itu sembari menarik diri dari hadapan Habibi.
"Eh?" Kata-katanya mengundang tanya di benak pria pengagumnya itu.
Kelaparan, kehujanan, kedinginan, kemudian kepanasan karena menjemur pakaian dan akhirnya dia menjadi demam. Bocah jaman sekarang, tubuh besar tinggi menjulang menjadi lemah hanya karena hal itu, "Memalukan!" Hazelia berbalik arah, kembali ke lantai atas untuk memeriksa keadaan Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Untuk Hazelia
RomanceDia pernah disayangi dan dicintai secara ugal-ugalan. Disanjung dan dipuja sang kekasih hati karena dia memang begitu indahnya. Bunga yang mekar suatu saat akan layu, seperti dirinya yang mulai tak sedap dipandang mata hingga akhirnya dia ditinggalk...