Di balik kebahagiaan yang terpancar di mata Adrian dan Aisyah, ada sebuah ketegangan yang tak terlihat. Sementara mereka merayakan kesuksesan yang diraih, keluarga Adrian—terutama ayahnya—masih belum bisa menerima Aisyah sepenuhnya. Meski Aisyah adalah seorang wanita yang berprestasi dan penuh dedikasi, ada sesuatu dalam diri Aisyah yang menurut ayah Adrian tak cocok dengan keluarga mereka.
Adrian mengamati Aisyah dari balik meja makan, menyadari betapa cantiknya wanita di depannya, meski senyum di wajahnya tidak secerah biasanya. Mereka sedang makan malam bersama keluarga Adrian, namun suasana terasa kaku. Ayah Adrian, yang biasanya sangat hangat, terlihat lebih dingin malam itu. Bahkan, ibunya yang selalu ramah pun tampak terdiam, hanya sesekali melirik ke arah Aisyah dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Aisyah, bagaimana perasaanmu tentang pekerjaanmu di bidang arsitektur?" tanya ibu Adrian, berusaha memecah keheningan yang semakin menekan. Ia sudah tahu betul tentang prestasi Aisyah, yang telah berhasil memimpin beberapa proyek besar, namun ia tetap merasa ragu.
"Sangat menyenangkan, Bu," jawab Aisyah dengan senyum tipis. "Saya merasa setiap proyek adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak dan memberi dampak pada banyak orang."
"Ah, tentu. Seorang wanita dengan ambisi yang besar," ujar ayah Adrian, dengan nada yang agak tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terdengar sopan.
Aisyah menunduk sedikit, mencoba tidak memperlihatkan ketegangannya. Ia tahu bahwa komentar itu lebih dari sekadar kalimat biasa. Ayah Adrian selalu berbicara dengan cara yang tidak langsung, seolah-olah mengingatkan Aisyah bahwa di dunia ini ada batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilanggar.
"Apakah kamu punya rencana untuk beristirahat setelah itu?" tanya ayah Adrian lagi, suaranya mengandung lebih banyak makna dari yang terlihat. "Seorang wanita yang sibuk bekerja mungkin melupakan pentingnya waktu untuk keluarga. Jangan sampai terlalu terfokus pada kariermu, Aisyah."
Aisyah merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, namun ia tetap menjaga ketenangannya. "Saya selalu berusaha menyeimbangkan semuanya, Pak. Saya percaya hidup itu tentang keseimbangan," jawabnya, mencoba mengubah percakapan menjadi lebih ringan.
Namun, ayah Adrian hanya mengangguk dengan pelan, seakan tidak begitu yakin. Ia tahu betul bahwa Aisyah adalah wanita yang luar biasa, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang ia anggap tak cocok dengan standar yang ia harapkan untuk menjadi pasangan bagi putranya. Tidak hanya soal pekerjaan, tetapi juga latar belakang Aisyah yang tidak berasal dari kalangan yang sama.
Setelah makan malam, Adrian mengajak Aisyah untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah. Malam itu sejuk, dan lampu-lampu taman berpendar lembut di sekitar mereka.
"Aisyah," kata Adrian, memulai pembicaraan dengan hati-hati, "Maaf kalau suasana tadi tidak nyaman. Ayahku... dia memang agak sulit menerima semuanya."
Aisyah mengangguk, namun senyumnya tampak pudar. "Aku tahu. Aku bisa merasakannya, Adrian. Aku tidak tahu kenapa, tapi... aku merasa seolah-olah aku bukan tempat yang seharusnya di sana."
Adrian menggenggam tangan Aisyah, mencoba memberi dukungan. "Ayahku selalu begini. Dia ingin yang terbaik untukku, tapi aku tahu dia sulit menerima kenyataan bahwa aku punya pilihan sendiri."
"Aku mengerti. Tapi aku tidak ingin hubungan ini membuatmu terjebak antara aku dan keluargamu," jawab Aisyah, suaranya pelan namun tegas. "Aku ingin kamu bahagia, Adrian. Apa pun itu."
Adrian menarik napas dalam, berusaha untuk tidak terhanyut dalam perasaan bersalah. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Aisyah. Aku akan berusaha semampuku agar semuanya bisa berjalan lancar."
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap, mencoba memahami satu sama lain tanpa kata-kata lebih. Namun, di balik perasaan yang mendalam itu, Aisyah tahu ada sesuatu yang harus ia hadapi—sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan mereka berdua. Keluarga Adrian, terutama ayahnya, tidak akan dengan mudah menerima kehadirannya dalam hidup Adrian.
Keesokan harinya, Adrian merasa tertekan dengan percakapan malam itu. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputernya tanpa benar-benar melihatnya. Matanya melirik foto keluarga yang terpasang di meja kerjanya—ayah, ibu, dan dirinya. Ia tahu betul, tidak ada tempat di sana untuk Aisyah, setidaknya menurut pandangan ayahnya.
Sementara itu, Aisyah di sisi lain kota merasa berat hati. Ia tidak ingin menjadi penghalang antara Adrian dan keluarganya, namun ia juga tidak bisa menahan perasaannya. Ia mulai meragukan apakah hubungan ini akan berhasil, jika keluarga Adrian terus menentangnya.
Namun, satu hal yang pasti—meskipun ada ketegangan yang besar, Aisyah merasa tidak ada yang lebih penting daripada cinta yang ia rasakan untuk Adrian. Dan ia tahu, jika mereka ingin tetap bersama, mereka harus berjuang untuk itu, tidak hanya melawan keluarga Adrian, tetapi juga melawan ketakutan dan keraguan yang ada di dalam diri mereka sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika Cinta
RomanceDi tengah derasnya arus kesuksesan dan kemewahan yang mengelilingi kehidupan mereka, Adrian dan Aisyah adalah pasangan suami istri yang tak hanya berbeda dalam latar belakang keluarga dan ras, tetapi juga dalam cara mereka mengartikan cinta. Adrian...