Sore itu, menjelang senja di atas sebuah gedung tua terbengkalai yang menjulang tinggi. Dulunya bangunan itu merupakan rumah sakit tapi sudah berhenti beroperasi. tinggi dari bangunan lama itu sekitar 634 meter.
Keindahan hutan beton dari atas sungguh memanjakan mata. Suasana yang tenang, sejuk, dan sunyi karna berdekatan dengan perbatasan hutan lembah. Membuat Gadis berusia 21 tahun tak bosan-bosan duduk di atas dengan kaki menjuntai, bergoyang pelan sambil membuang napas pelan.
"Huh, seandainya hal itu tidak pernah terjadi. Aku pasti tidak akan seperti ini." monolog pada diri sendiri.
Tidak memiliki teman, sahabat, bahkan relasi. Aku adalah pecundang bodoh yang bahkan lebih tidak berguna daripada adikku. Menjadi mahasiswa kupu-kupu belum tentu jalan hidupku bisa tenang.
Terpaan angin lembut semakin menerbak jilbab pashmina panjang yang kupakai berwarna peace senada dengan warna gamis. Aku hanya duduk melamun menatap matahari yang semakin turun dari hilir perlahan dan menyaksikan akhir dari senja menjadi maghrib.
Hahahaha. Memang kurang kerjaan aku ini. Selalu ke gedung rumah sakit terbengkalai hanya untuk melihat senja.
Jika aku bercerita pada orang-orang, percayalah mereka pasti akan menertawakan ku.
Aku selalu berandai-andai. Andai jika aku bisa ke masa lalu. Andai jika aku bisa berkomunikasi dengan baik aku pasti tidak akan pernah bertemu dengan mereka.
Bulir air mata ku menetes perlahan. Ah... Betapa cengengnya diriku. Lemah. Bodoh. Dan memiliki banyak kekurangan. Aku tidak cantik. Tidak kaya. Dan juga tidak memiliki apa-apa seperti seorang teman yang tulus atau pun relasi yang mau menerima ku.
Cairan bening semakin deras dan suaraku yang pelan semakin serak. Dalam diam aku berharap biarpun tak bisa berharap lebih. Dalam sunyi aku berusaha. Dibenci tanpa sebab? Enak? Ya, enggak lah.
"Gue punya keluarga tapi kenapa rasanya gue seperti sebatang kara."
"Penyesalan gue banyak, tapi kenapa nggak ada niatan untuk bunuh diri? Setiap gue pengen lakuin pasti tangan gue kamu seperti nggak mau ditusuk maupun disayat." Aku berbicara sendiri seperti orang gila, tapi memang ini selalu membuatku tenang. Mumpung sepi dan tak ada siapa-siapa. Ya, mungkin saja karna aku nggak punya siapa-siapa yang bisa ku ajak curhat.
Nggak ada siapapun.
Teman palsu. Sahabat pun lari tiba-tiba menjauh dan tak mau dihubungi. Orang tua semakin tak suka padaku. Ntah karna aku belum sukses atau karna penghasilan ku selalu semakin sedikit.
Dadaku semakin sesak. Rasanya benar-benar ingin teriak maka dari itu aku hanya melepaskan segalanya lewat tangisan. Karna aku sendiri maka aku selamanya aku akan tetap sendiri.
Berharap pun tak ada gunanya jika sudah menjadi sampah. Berdiri di atas tebing yang ingin runtuh, dengan kegelapan mendominasi. Salah-salah langsung jatuh ke dalam jurang.
Tuhan. Rasanya aku yang pendosa tidak pantas berdoa. Apa Tuhan akan memaafkan ku dengan leluasa? Sementara diri ku masih saja berbuat dosa tanpa sadar.
Aku tahu Tuhan adalah maha segalanya. Tapi aku yang malu dihadapan Tuhan jika terus bertaubat tapi malah melakukan dosa tanpa sadar. Apa memang takdir ku sudah Engkau putuskan? Didalam Neraka? Bersama para Iblis?
Jika iya. Aku menyesal karena terlahir sebagai manusia. Lebih baik menjadi hewan dan tumbuhan yang se menderita apapun mereka, mereka mati akan balik lagi jadi tanah. Biarpun tidak akan merasakan kenikmatan dari surga.
"ARGGHH! " teriakku sekencang mungkin. Senja semakin silih berganti.
Aku menangis. Menangis lagi? Aku memang bodoh. Jadi untuk apa pendosa ini terus hidup? Mati rasa. Semua yang ku rasakan sungguh hambar.
Semua yang ku tumpahkan sukses membuat riasan diwajah luntur. Aku tidak peduli. Bagiku terlahir menjadi manusia hanyalah sebuah penderitaan yang diberi janji manis surga. Padahal jika sudah menjadi penghuni neraka apa yang bisa kuperbuat? Apa Tuhan mau mengampuniku yang sudah berlumur dosa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret And Destiny [OnGoing]
Teen FictionKembali? Aku benar-benar kembali ke masa itu?? ---- Karena penasaran buru-buru ia bergegas ke depan cermin fullbody yang tampak begitu usang dan melihat wajahnya sendiri. Ia terkejut syok dan sempat termenung sesaat. kali ini apa ia benar-benar kem...