1, Pencuri Kecil

146 21 69
                                    

"PROVIDER apa yang sinyalnya bagus di sini?" tanya Ben pada penjual kios pulsa dan sim card.

Alih-alih melihat si penjual, matanya malah melihat-lihat jajaran kartu perdana di etalase sambil menunduk.

"Bagus semua sih, A. Tapi tergantung lokasi juga," jawab si penjual sambil membuka pintu etalase dan mengeluarkan satu kartu untuk tiap provider. "Aa tinggal di mana?"

"Di dekat sini." Dia menunjuk dengan dagu.

"Oh, yang ini aja, A." Si penjual menyodorkan katu berwarna merah. "Ini juga bagus." Dia menjulurkan kartu lain berwarna kuning. "Kuotanya malah lebih murah."

"Ya sudah, yang ini aja." Ben menunjuk kartu kuning.

"Mau pilih nomor, A?" Si penjual memasukkan kembali kartu yang lain. "Ada nomor cantik nih, A. Agak mahal sih."

Ben mendengus. "Gue nggak butuh nomor cantik." Saat ini, siapakah yang masih menghafal nomor? Bahkan pemilik nomor itu sendiri pun sering tak hafal nomor teleponnya. Saat ini, cukup masukkan nomor itu ke ponsel. Tidak perlu dihafal lagi.

"Nomor ganteng kalau gitu, A." Si penjual masih berusaha menarik untung lebih.

Ben hanya mendengus. "Lu terima service HP?"

"Iya, A . Tapi ada juga yang saya jual."

"Mana?"

Si penjual mengeluarkan beberapa ponsel bekas koleksinya.

"Berapaan?"

Tawar-menawar pun terjadi. Ben yang cukup cakap dengan teknologi ponsel bisa mendapatkan barang dengan harga yang sepadan, malah cukup murah. Kesepakatan pun terjadi.

"Pasangin, sekalian isiin kuota."

"Siap. Berapa giga, A?"

"Tiga puluh, buat sebulan."

Si penjual langsung memasang kartu ke slot ponsel, tak lama dia memegang ponsel miliknya untuk mengisi data seluler pada nomor baru itu.

Setelah selesai, dia menyerahkan ponsel pada calon pemilik barunya. Ben memeriksa lagi benda itu, memastikan sambungan GSM dan mobile data berfungsi.

Tak banyak cakap, setelah yakin semua bisa berfungsi, Ben langsung membayar seluruh belanjaannya secara tunai lalu berdiri dan pergi meninggalkan counter kecil itu.

Dia melangkah dengan kecepatan normal. Tidak ada yang mengerjarnya. Oh, ada. Namun yang mengejarnya entah di mana. Dia bermaksud kembali ke sepetak kecil rumah yang baru tadi siang dia sewa.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ini hanya di pinggir kota besar. Jalanan mulai lenggang kalau tidak mau disebut sepi. Dia tetap berjalan tanpa rasa takut. Apakah yang bisa menakutinya sekarang kalau satu-satunya nyawa yang dia punya sudah dia ikhlaskan kapan pun pemiliknya mau mengambil.

Ingatannya bergerak ke satu sosok. Sosok yang membuatnya bisa seikhlas itu menyerahkan nyawa demi kebebasannya. Dia terlalu serius melamun sampai tidak menyadari sekelilingnya.

Bug.

"Auch."

Suara dua tubuh bertabrakan disusul suara mengaduh lemah membuat Ben tersadar dan kembali ke masa kini.

Seseorang yang tadi menabraknya kini terduduk di tepi jalan. Dia terus menunduk sambil memegangi pergelangan kakinya. Mungkin dia terkilir. Pemikiran itu membuat Ben berjongkok dengan sebelah kaki di depannya.

"Lu kenapa? Keseleo?"

"Nggak. Nggak apa-apa." Dia menjawab dengan suara mencicit ditegar-tegarkan. Membuat Ben menambah sedikit kadar keseriusannya melihat sosok itu.

Dia yang KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang