TUBUH bocah itu menegang kaku ketika Ben memapah nyaris menggendongnya. Dia merasa gugup. Atau takut? Namun segera dia hilangkan semua perasaan itu. Tertatih, dia berusaha menahan nyeri terkilir. Bengkak, ya bengkaklah. Yang penting dia aman dulu. Dia pun tidak mau terlalu tergantung, terlalu menumpukan bobot tubuhnya pada lelaki yang telah menolongnya itu.
Ben membawa bocah itu menelusuri jalan kecil berliku memasuki perkampungan. Sampai di sebuah rumah petak berderet dia membantu bocah itu duduk di pagar beton teras pembatas setinggi lutut lalu dia merogoh kantung celana dan mengambil kunci pintu.
Dia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu kembali kepada bocah itu kemudian membantunya masuk. Tidak ada apa pun di sana. Benar-benar tidak ada apa pun. Kecuali selembar tikar plastik dan travel bag selusuh miliknya dan milik si bocah bisa disebut isi kamar.
Tikar itu jelas baru. Travel bag itu terletak dibagian kepala tikar sehingga jelas berfungsi sebagai bantal.
Ruangan ini sebenarnya sangat kecil, namun ketiadaan isi membuatnya terasa lapang. Ruang berukuran 3x3 plus kamar mandi di dalam. Sebuah meja beton dengan sink di depan pintu kamar mandi jelas berfungsi sebagai meja dapur. Dan meja itu pun kosong.
Pemandangan itu membuat si bocah memilih memerosotkan tubuh di tempat kakinya pertama kali memijak kamar itu. Sepertinya tidak ada aturan di mana dia harus duduk.
"Nama lu siapa?" tanya Ben sambil menjatuhkan bokong ke lantai di sisi dinding lain. Sebelah kakinya terjulur sementara sebelah yang lain terlipat dan menjadi tempat lengannya menumpu santai.
"Ara," jawabnya singkat.
Ben mengangguk sambil menyambar botol air mineral ukuran 1500mL lalu menenggaknya sampai habis.
"Gue tinggal di kandang orang kayak gini. Terserah lu aja. Kalau mau tinggal di sini ya silakan. Kalau nggak mau ya tuh pintu," dia menunjuk pintu dengan dagu. "... gue nggak kunci." Dia merebahkan tubuh ke atas tikar lalu menggeser travel bag dan menyelipkan benda itu ke bawah kepala, menjadikannya sebagai bantal.
Melihat tuan rumah berlaku sangat santai bahkan cenderung abai, tidak serta merta membuat bocah itu—Ara—merasa bebas. Perlahan dia menggeser bokongnya mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Di sana, dia bersandar meski tubuhnya masih tetap sekaku papan. Kembali pandangannya menelisik isi ruang. Sepertinya dia akan tidur di sini. Maksudnya di titik di mana dia sekarang duduk. Tepat di seberang tuan rumah.
Setelah merasa yakin bahwa dia sudah memiliki tempat berteduh, perlahan, seperti pencopet, dia merogoh kantung hemnya sendiri lalu mengeluarkan bakwan hasil curiannya tadi.
Dia sungguh lapar. Bahkan sudah bisa disebut kelaparan. Mungkin itu yang membuatnya nyaris tertangkap. Kakinya goyah ketika berlari dan dia begitu mudah jatuh ketika tubuhnya bertabrakan dengan Ben.
Hanya itu yang dia punya, maka hanya itu yang dia makan. Dia tidak memiliki air seteguk pun. Hanya ada botol air mineral kosong di ruangan itu. Pun ada, mana mungkin dia mencuri di rumah orang yang sudah menolongnya.
Ah, sudahlah. Masih ada air di kamar mandi. Dia melirik ke kamar mandi lalu perlahan mulai mengunyah. Makanan itu sudah keras. Mungkin sudah dari pagi digoreng lalu sorenya dihangatkan. Namun dia menikmati sedikit yang dia punya meski itu pun hasil curian. Besok? Entahlah. Masih ada waktu untuk bekerja. Semoga ada yang mau mempekerjakannya. Semoga bukan pekerjaan yang butuh tenaga ekstra. Sepotong bakwan tentu tidak bisa dipakai mencangkul seharian. Bahkan menjadi buruh pencuci piring pun sepertinya dia tidak punya tenaga untuk berdiri seharian.
Ah....
[][][]
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia yang Kembali
RomanceDEMI menyelamatkan sahabatnya, Ben membongkar semua kejahatan Broto. Namun untuk itu dia harus bertaruh nyawa. Dia harus melarikan diri dari kejaran Broto yang tentu tidak rela bertukar tempat dengan Fabian di sel berjeruji besi. Dalam pelariannya...