14. Alasan Tangan Terasa Dingin

26 19 0
                                    

"Aku adalah pahlawan tanpa jubah, yang bekerja tanpa lelah untuk menyelamatkan jiwa."—Shaga Arsenio.

____

Mobil berwarna hitam legam milik Shaga berhenti tepat di depan pagar rumah minimalis modern yang berdiri megah di tengah hamparan taman hijau nan asri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil berwarna hitam legam milik Shaga berhenti tepat di depan pagar rumah minimalis modern yang berdiri megah di tengah hamparan taman hijau nan asri. Sinar mentari sore yang hangat menyorot bodi mobil, memantulkan kilauan yang memikat mata. Rumah itu tampak begitu sempurna, dengan dinding putih yang bersih dan jendela-jendela kaca besar yang memperlihatkan interior yang elegan. Shaga, yang mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, melangkah keluar dari mobil dengan senyum tipis di bibirnya. Di sampingnya, Jovita, dengan rambut panjangnya yang terurai dan dress floral yang cerah, tersenyum malu-malu. Ia mengagumi rumah itu sejenak, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu masuk yang terbuat dari kayu jati berukir indah. Jovita mengikuti langkah Shaga, matanya tak henti-hentinya tertuju pada rumah yang tampak begitu menawan.

Jovita mengetuk pintu rumah itu dengan akrab, seperti sudah ratusan kali ia melakukannya. Senyum lebar terkembang di wajahnya, mengingat betapa nyamannya ia merasa di rumah Syahirah. Pintu terbuka, memperlihatkan sosok tinggi semampai dengan rambut panjang yang diikat asal dan senyum ramah yang menawan. Ya, itu adalah Syahirah, teman Jovita dari fakultas hukum yang sudah lama ia kenal dan sering ia kunjungi. Syahirah mengenakan kaos oblong sederhana dan celana jeans, tatapan matanya yang hangat dan ramah membuat Jovita merasa seperti di rumah sendiri.

“Perkenalkan, ini temanku, Shaga,” ujar Jovita, suaranya bersemangat. Ia menoleh ke arah Shaga, yang berdiri di belakangnya dengan senyum tipis di bibir. Shaga, yang mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, tampak sedikit gugup saat Jovita memperkenalkannya.  “Shaga, ini Syahirah, teman dekatku dari fakultas hukum,” lanjut Jovita, berusaha mencairkan suasana.

“Senang bertemu denganmu, Shaga,” sapa Syahirah, suaranya lembut dan menenangkan.

“Senang bertemu denganmu juga, Syahirah,” jawabnya, “Jovita baru saja memperkenalkan kita tadi. Jadi, aku belum banyak tahu tentangmu.”

Jovita tersenyum lebar, senang melihat interaksi awal antara Shaga dan Syahirah yang berjalan lancar. Ia berharap pertemuan ini akan menjadi awal dari persahabatan yang baik antara kedua sahabatnya. Meskipun Shaga dan Jovita baru bertemu, Jovita yakin bahwa mereka akan cepat akrab.

Shaga mengulurkan tangannya, jari-jarinya yang lentik terulur dengan gerakan yang halus, untuk mengajak Syahirah berjabat tangan. Senyum tipis terukir di bibirnya,  mengingatkan Syahirah pada senyum Jovita yang sering ia lihat di media sosial. Syahirah menyambut uluran tangan Shaga dengan ramah, jari-jarinya yang lembut bersentuhan dengan jari-jari Shaga. Namun, Shaga merasakan sesuatu yang berbeda. Tangan Syahirah terasa dingin, seperti es batu yang baru dikeluarkan dari freezer.

“Tanganmu dingin,” ujar Shaga, suaranya lembut, tetapi terdengar sedikit khawatir. “Apakah kau merasa cemas? Atau mungkin kau sedang tidak enak badan?” Ia mengamati wajah Syahirah dengan saksama, mencoba mencari tanda-tanda yang bisa menjelaskan suhu tubuh Syahirah yang terasa dingin. Mata Syahirah yang biasanya memancarkan kehangatan dan keramahan, kini tampak sedikit redup,  seperti tertutup kabut tipis.

Syahirah tersenyum tipis.  “Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah,” jawabnya, suaranya terdengar pelan dan sedikit serak. “Mungkin karena aku terlalu banyak minum teh dingin tadi.”  Ia berusaha untuk terlihat tenang, tetapi Shaga merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

“Memangnya kenapa jika tangan terasa dingin?” tanya Jovita, suaranya sedikit tinggi, menunjukkan rasa penasarannya. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa Syahirah cemas hanya dengan menyentuh tangannya? Mungkin dia hanya kedinginan karena AC ruangan ini terlalu dingin.” Jovita menunjuk ke arah AC yang terpasang di dinding, seolah-olah ingin menyalahkan benda mati itu atas kejanggalan yang terjadi.

Shaga mengerutkan kening. “Tidak, aku yakin dia cemas,” jawabnya tegas, “aku sudah sering membaca tentang bahasa tubuh, tangan yang dingin merupakan salah satu tanda bahwa seseorang sedang mengalami kecemasan. Selain itu, matanya juga terlihat redup dan sedikit kosong, itu juga merupakan tanda bahwa dia sedang tidak tenang. Tangan bisa terasa dingin saat cemas atau stres karena respons sistem saraf simpatik yang merupakan bagian dari sistem saraf otonom. Ketika kita merasa cemas atau stres, tubuh memicu respons ‘fight or flight’ yang menyebabkan pembuluh darah di ekstremitas seperti tangan dan kaki menyempit (vasokonstriksi). Proses ini mengarahkan aliran darah ke organ-organ vital untuk mempersiapkan tubuh menghadapi situasi darurat. Akibatnya, tangan dan jari-jari bisa terasa dingin karena berkurangnya aliran darah ke area tersebut. Reaksi ini adalah cara tubuh mengelola sumber daya dalam situasi stres atau bahaya.”

Jovita terdiam, mencerna penjelasan Shaga. Ia memang tidak begitu paham tentang bahasa tubuh, tetapi ia percaya pada intuisinya. Sejak awal, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Syahirah. Tatapan matanya yang biasanya berbinar-binar, kini redup dan sedikit kosong. Senyumnya yang ramah dan hangat, kini terasa dipaksakan dan sedikit kaku. Firasat buruk menggerogoti hatinya, mengingatkannya pada kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi pada Syahirah di masa lalu.

“Lantas, mengapa kulit terasa dingin ketika dioleskan alkohol?” tanya Jovita, suaranya sedikit penasaran. “Aku ingat waktu kecil, kalau demam, ibu selalu mengoleskan alkohol ke tubuhku. Rasanya memang dingin, tapi aku tidak pernah berpikir tentang alasannya.” Ia menatap Shaga dengan mata yang berbinar-binar, menginginkan penjelasan yang memuaskan rasa penasarannya.

“Kulit terasa dingin ketika dioleskan alkohol karena alkohol menguap sangat cepat. Proses penguapan ini memerlukan energi panas yang diambil dari kulit. Akibatnya, panas dari permukaan kulit diserap untuk membantu alkohol berubah dari cairan menjadi gas, sehingga kulit terasa dingin. Fenomena ini disebut ‘pendinginan evaporatif’, di mana penguapan zat cair menurunkan suhu permukaan tempat zat tersebut berada,” jelas Shaga.

Jovita mengangguk, mencoba memahami penjelasan Shaga. Ia mengulang-ulang kata “penguapan” dan “menyerap panas” dalam hati, seolah-olah ingin memastikan bahwa ia benar-benar mengerti. “Jadi, itulah sebabnya kulit terasa dingin ketika dioleskan alkohol,” ujarnya, suaranya terdengar sedikit lega. “Aku jadi mengerti sekarang. Sepertinya aku terlalu fokus pada rasa dinginnya, sampai lupa bahwa ada proses penguapan di baliknya.” Ia tersenyum, menampakkan rasa terima kasih kepada Shaga yang telah membuka wawasannya tentang hal tersebut.

Sedangkan Syahirah tampak bingung dengan pembahasan mereka berdua. Ia mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang sedang mereka bicarakan. “Alkohol? Penguapan? Apa hubungannya dengan keadaanku?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lemah. Matanya menatap Jovita dan Shaga dengan tatapan yang penuh kebingungan, seolah-olah ia merasa tertinggal dalam sebuah percakapan yang tidak ia mengerti.

Shaga terkekeh, suaranya terdengar sedikit geli. “Tidak ada,  lupakan saja,” ujarnya, mencoba mengalihkan perhatian Syahirah dari pembahasan tentang alkohol dan penguapan. “Itu hanya pembicaraan sepele, yang penting, kau baik-baik saja sekarang.”

Syahirah mengangguk pelan, mencoba untuk tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan. “Kalau begitu,  masuklah,” ujarnya, suaranya masih terdengar sedikit bergetar. Ia membuka pintu lebih lebar, menginginkan Jovita dan Shaga masuk ke dalam rumah.

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Authornya juga baru tau tentang ini😭

Luka Jubah Putih [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang