01

4 2 0
                                    

Saat kedua mataku terbuka dengan perlahan, yang pertama kali menyambut ku adalah semua perabotan berwarna putih. Rasanya pusing di kepalaku. Bagai, ada ratusan ribu jarum yang menusuk dalam di kulit kepalaku.

Aku berusaha mencari objek lain, dan baru menyadari jika di ruangan berbau obat itu bukan hanya ada diriku sendiri. Namun, seorang wanita paruh baya dan kedua lelaki yang terlihat cukup dewasa tengah memandangi ku khawatir. Dapat aku lihat, di setiap wajah itu terukir raut lega.

Mataku terpaku pada wanita paruh baya itu. Wanita yang terlihat cantik meski sudah memiliki beberapa kerutan di pipi dan kedua ujung matanya. Wanita itu, meyapu sudut matanya dan berusaha mengukir senyum lembut.

Rasanya, aku ingin membalas senyuman itu. Hanya saja, rasa haus dan kering di tenggorokan ku membuat kerutan tipis di dahiku. Seolah bertanya, mengapa tenggorokan ku terasa begitu kering? Seakan, aku baru saja tertidur dalam waktu yang lama.

Aku terperangah saat pria berambut hitam yang memiliki senyum menenangkan itu ditunjukkan kepada ku, seakan paham dan langsung meraih gelas berisi air minum. Tanpa banyak bicara, lelaki yang satunya juga membantu. Dengan perlahan, lelaki itu membantuku untuk duduk bersandar, membenarkan letak posisi bantal agar aku merasa nyaman. Ah, aku baru sadar. Tubuhku rasanya bagaikan dihantam banyaknya bebatuan besar. Sakit, namun lebih mendominasi rasa sakit dan pusing di kepalaku.

Aku tanpa berniat mengucapkan terima kasih setelah mendapat beberapa teguk air, dengan bingung menatapi wajah kedua pria yang kembali menatap ku dengan lembut. Entah mengapa, aku merasakan sekelebat perasaan sedih yang muncul dan menghilang begitu saja.

"Apa terasa sakit?"

Pertanyaan itu, pertanyaan yang menurut ku tidak perlu ku jawab. Lelaki dengan rambut hitam segera menepuk punggung lelaki yang bertanya dengan sedikit keras.

"Apa kau tidak bisa melihat keadaan Ainar dengan matamu?" Tanya lelaki itu kesal dan kembali mengukir senyum yang menenangkan rasa gugup ku.

Banyak pertanyaan yang dilontarkan untuk ku, dan aku hanya memilih diam tak menjawab. Bukan karena tidak mau, hanya saja lidah ku terasa kelu untuk digerakkan. Dalam diam ku, aku merangkai kata untuk pertanyaan yang akan aku keluarkan. Berusaha agar tidak merusak suasana hangat yang entah mengapa membuatku ingin menangis.

"A—"  Aku menghentikan ucapan yang baru saja ingin aku keluarkan. Belum satu kata yang terlontar, namun kedua lelaki itu segera menghentikan perdebatan kecil mereka. Wanita paruh baya yang sedaritadi diam, segera mendekatiku dan menggengam tangan ku yang tidak terpasang infus.

"Ada apa, Rindu?" Tanya wanita itu dengan mengusap lembut kepala ku. Rasa pusing yang menyiksa itu, sedikit menguap kala tangan itu menepuk pelan kepala ku dengan kelembutan dan kehati-hatiannya.

Ku pandangi wajah wanita itu, sambil bertanya lemah, "S– siapa kalian?"

Sepertinya, suara ku menggema di ruangan sunyi itu. Karena itu, lelaki yang berambut cokelat segera berlari keluar entah kemana. Dapat aku rasakan, tangan yang semula mengusap kepala ku lembut kini terhenti pergerakannya.

Rasa bingung ku semakin melanda, kala melihat wanita itu meneteskan air matanya yang terus memandangiku terkejut. Entah apa yang beliau pikirkan, tapi itu cukup membuatku merasa bersalah. Aku lirik lelaki yang semula selalu mengukir senyum yang membuat ku tenang, kini juga menatapku terkejut. Aku dapat menangkap rasa takut, kecewa, sedih, dan menyesal beradu di kedua netra legamnya.

Ketiga hal itu, menimbulkan rasa bingung di hatiku.

Apa aku telah membuat kesalahan?

꧁•⊹٭٭⊹•꧂

Minggu, 10 November 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka yang BerbicaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang