Prolog

2 2 0
                                    

Langit petang kelam membentang, bintang-bintang berkilauan hiasi keheningan, disertai angin malam yang sejuk berbisik halus. Kesunyian merambat, hanya terdengar suara cengkerik kecil mengisi kekosongan, sedang dunia perlahan terlelap dalam bayangan sepi. Di hati Selena, ingatan lama kembali berputar, menggugah perhatian serta membangkitkan rasa yang telah lama terkubur.

Tatkala itu, Selena masihlah seorang dara manis di tingkatan empat, berjumpa dengan Arman, pelajar yang senantiasa menjadi tumpuan ramai. Dengan senyuman memikat serta pesona yang tiada tanding, Arman menjadi bintang di mata Selena. Dia terpaut, terjerat dalam tatapan mata Arman yang nan dalam, hingga rasa hatinya kian tertaut.

Namun, cinta remaja sering berselimut khilaf. Selena yang terlalu hanyut oleh perasaannya, sebaliknya merasakan ketidakpastian dari Arman. Suka duka mewarnai perjalanan mereka. Ada waktu penuh tawa yang mereka kongsikan, namun ada pula detik getir kala hadirnya insan ketiga menimbulkan rasa kecewa yang mendalam.

Pada suatu ketika, sampailah khabar ke telinga Selena bahwa Arman mendekati sahabatnya, Lisa. Perih yang mencucuk sanubari menghunjamkan dirinya dalam kesedihan. Dia kerap habiskan waktu di sudut perpustakaan, bersembunyi dari pandangan mereka berdua, sedang hatinya remuk seolah dihancur luluh. Setiap pandangan dari jauh pada Arman seakan meruntuhkan serpihan hatinya satu demi satu.

Hari-hari terus berlalu, dan Selena merasa beban kian memberat di pundaknya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pelajaran dan kegiatan sekolah, namun bayangan Arman tak kunjung sirna. Kebahagiaan yang pernah dirasakannya kini bertukar menjadi nestapa yang menghimpit jiwa.

Akhirnya, ketika tahun tingkatan empat menjelang akhir, Selena memutuskan untuk melepaskan rasa cinta dan pedih itu. Dia beralih menumpukan perhatian pada dirinya sendiri, percaya bahwa luka akan sembuh seiring waktu. Walaupun dirinya tidak benar-benar melupakan Arman, ia belajar untuk menganggapnya sebagai pengalaman yang berharga dalam hidup.

Dalam kelam malam yang sunyi, Selena melepas nafas panjang, menelaah kembali perjalanan hatinya. Disadarinya bahwa setiap luka menyimpan hikmah, dan setiap cinta, meski tak berujung bahagia, tetaplah penuh makna. Dengan hati yang kini lebih tenang, ia berikrar menghadapi masa depan dengan gagah berani, menjadikan kenangan pahit sebagai batu loncatan untuk membuka hati dan meraih kebahagiaan baru.

Dahulu, dirinya pernah dihina, ditipu, dikhianati, serta disakiti oleh lelaki itu, sehingga menimbulkan luka yang dalam. Hari-harinya penuh kepayahan, berusaha melupakan bayangan Arman yang seolah tak pernah sirna. Di setiap sudut kampus, dalam setiap lagu yang didengarnya, bahkan dalam sinar mentari nan hangat, tersimpan jejak-jejak rasa pedih yang tertanam.

Malam-malamnya diselubungi kesepian yang menggigit, kala dirinya terjaga dan membiarkan pikirannya berkelana ke masa-masa pahit itu. Ia masih mengingat senyuman Arman yang memikat, bagaimana lelaki itu mampu membuatnya tertawa, dan bagaimana perutnya terasa hangat kala mereka bersama. Namun, semuanya pudar kala pengkhianatan itu terungkap, bagai embun pagi yang lenyap bersama teriknya mentari.

Selena kerap terbangun dengan rasa nyeri yang mencengkeram dada, seolah jantungnya diremas oleh ingatan tentang kebohongan serta ketidakadilan yang menimpanya. Ia merasa bodoh, terjebak dalam ilusi cinta yang ternyata hanya tipu daya. Setiap kali ia berusaha melangkah ke depan, kenangan akan Arman menariknya kembali ke jurang kesedihan.

Kenangan-kenangan manis yang dulu ingin diabadikannya, kini hanya menjadi pengingat akan betapa ia pernah berada dalam derita yang begitu mendalam. Ia mulai mempertanyakan nilai dirinya "Mengapa aku tak layak dicintai dengan setulus hati?" pertanyaan itu terus bergaung dalam benaknya, seolah mengikis semangat hidupnya.

Dalam keputusasaan, ia mencoba melupakan. Ia berkumpul bersama teman-temannya, mencari kesibukan, bahkan mencoba menjalin kasih yang baru. Namun, tiap kali bertemu lelaki yang sedikit mengingatkannya pada Arman, hatinya seketika terganjal. Ia takut mencintai lagi, takut pada pengkhianatan yang mungkin kembali melukai. Ketakutan itu membuatnya terperangkap dalam lingkaran nestapa.

Pada suatu malam kelam, kala hujan mengguyur deras di luar, Selena terduduk di sudut kamarnya dengan linangan air mata. Ia merasa kosong, seolah sebagian dari dirinya hilang selamanya. Malam itu adalah titik terendah dalam hidupnya, saat ia benar-benar merasa tak berdaya dan bingung harus melangkah ke mana.

Namun, dalam keputusasaan itu, perlahan-lahan muncullah secercah harapan di lubuk hatinya. Derita yang dialaminya kini dapat menjadi pelajaran, bukan sekadar penyesalan. Di tengah sepi yang menggigit, ia menemukan niat untuk bangkit, bertekad agar masa lalunya takkan menjadi penentu masa depannya.

Selena pun memulai perjalanan penyembuhan. Ia menumpahkan semua rasa dalam lembaran jurnal, menuliskan tiap luka, kekecewaan, serta nestapa yang selama ini terpendam. Menulis menjadi pelipur yang melegakan, membantunya membebaskan jiwa yang terlilit duka. Melalui kata-kata, ia kembali melihat sosok dirinya yang dulu, sebelum rasa sakit itu menghampiri.

Lambat laun, tiap goresan pena menjadi langkah untuk menghadapi luka-lukanya, dan ia mulai merasakan harapan baru. Meski luka-luka itu takkan pernah sepenuhnya hilang, ia menyadari bahwa ada kekuatan dalam dirinya untuk melangkah maju dan meraih kebahagiaan yang tak bergantung pada orang lain.

Dengan setiap langkah kecil, Selena membangun kembali keyakinannya. Pelan namun pasti, ia membuka hati untuk kemungkinan-kemungkinan baru, berjanji pada diri sendiri agar tidak lagi mengulangi kekeliruan yang lalu. Ia tahu, di balik hatinya yang terluka, ada ruang untuk mencinta dan dicintai lagi dan ia takkan membiarkan luka masa lampau menghentikannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 5 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HurtWhere stories live. Discover now