Satu, dua, tiga, kau akan baik-baik saja selama tidak menjadi jahat, batinku dalam hati, seperti doa di tengah badai yang terus mengguncang hidupku.
Kuembuskan napas panjang sambil membuka mata dan menatap papan open-close di pintu kaca Ocean Ice Cream milik mom. Kedua tanganku mengikat tali celemek di belakang pinggang dan alih-alih mengalihkan pandangan jauh ke depan, aku lebih memilih menunduk mengamati jajaran tanaman hias di depan toko yang telah disiram jauh sebelum, pegawai kami--Bryan--datang sesuai jam kerjanya.
Bagaimana pun, aku tidak ingin merusak detik-detik pertamaku. Itu yang kupikirkan, sehingga selalu mengalihkan pandangan ke hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti sekarang, aku malah beralih memerhatikan gantungan kristal di jendela yang senantiasa berbunyi, setiap kali tertiup angin. Grand dad pernah bilang alasan mengapa dekorasi tersebut dipertahankan, katanya mereka akan selalu terdengar menyenangkan, tetapi kali ini aku meragukannya.
Tetap tidak bisa, Summer! Toko ini bisa tutup kapan saja. Aku telah mencoba segala hal, tapi mereka lebih tertarik dengan Robinson's Sweet--suara mom berputar-putar di kepalaku dan semakin menambah beban tak kasat mata di pundak.
"Oh, sial! Padahal semua yang kulakukan sekarang hanya demi tiket konser Taylor Swift, tapi malah jadi berlapis karena toko pesaing itu." Aku berbisik pada diri sendiri dan dengan terpaksa, akhirnya menatap Robinson's Sweet di seberang jalan—modern, mewah, penuh pelanggan, sangat cocok untuk memanjakan para pencinta sosial media. Bandingkan dengan Ocean Ice Cream, toko sederhana milik keluarga kami yang berjuang bertahan di tengah perubahan zaman.
Jadi begini, bisa dibilang, aku datang jauh lebih awal dari semestinya hanya demi tugas pengintaian. Mencari tahu, berapa banyak pelanggan yang telah berkhianat, serta berapa banyak pelanggan yang masih setia bersama kami. Dan kebetulan, sepanjang malam aku juga tidak tidur sebab otakku senantiasa bekerja; menghitung berapa banyak Dollar yang harus terkumpul setiap hari, ditambah bonus jika berhasil menarik pelanggan baru.
"Summer."
Tarikan pelan di ujung rambutku mengembalikan kesadaran. Aku mendapati Bryan berdiri di sana, tersenyum setengah mengejek sambil membalikkan papan close menjadi open.
“Masih terlalu pagi untuk iri, bukan?” katanya, sambil ikut melirik--mengamati--apa yang kuperhatikan selama beberapa saat. "Kurasa, kita harus menambahkan menu sarapan. Bagaimana menurutmu, Summer?"
Aku memiringkan bibir, selagi berpikir. Logikanya, tidak ada manusia yang menikmati hidangan es krim di pagi hari dan mom, demi meningkatkan penjualan memilih untuk buka lebih awal setelah serangan paniknya mendera.
"Mungkin beberapa minuman, roti, atau biskuit." Bryan menambahkan lagi.
"Tidak buruk, tapi ...."--ini masalah utamanya--"mom tidak bisa menambah pegawai baru yang bisa membuat menu-menu tersebut."
Kini Bryan tersenyum lebar, sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Ugh, apa-apaan?!
"Kalian bisa mengandalkanku," katanya kemudian berlalu begitu saja, setelah menepuk-nepuk pucuk kepalaku. "Beruntunglah, karena ibumu mengadopsiku dan membiayai pendidikanku, Summer, karena aku tahu sekali cara berbalas budi."
"Bukan karena kau menyukai kakakku, 'kan?" tanyaku tidak benar-benar serius, meski kami semua tahu bahwa Bryan menyukai Sue sejak lelaki itu beranjak remaja.
"Nope, Summer." Bryan menggeleng.
Omong kosong! Batinku bersamaan dengan suara pintu belakang yang terbuka.
Kami menoleh ke arah tersebut dan Mom berdiri di sana, sambil melepaskan sunglassess lalu menyimpan payung lipat di dalam tas bahunya. Dia adalah salah satu manusia yang tidak suka musim panas, tetapi memanfaatkan musim tersebut untuk mengais keuntungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Target Affection: A Summer Paintball Romance
Storie d'amoreSummer Jo telah merancang liburan musim panasnya dengan satu tujuan besar yaitu mendapatkan tiket konser VIP Taylor Swift. Namun, keputusan besar dan mendadak dari ibunya, justru menjadi pengacau. Bagaimana tidak, di hari pertama musim panas, ibuny...