Bab 1

1 0 0
                                    

" Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah-lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. "

[ Surah Al-ahzab ayat 32 ]

Manakala hati telah berubah menjadi batu, saat itulah semua terasa membeku. Hati yang dahulu selalu lembut, ikhlas, kini menjadi kasar, dan pemarah. Bisakah kembali seperti semula? Sama seperti dahulu, kala hati itu masih lembut dan halus.

Ibu pernah berkata "janganlah berkata kasar, kepada siapapun, entah orangtua kamu ataupun bukan, jagalah adab sebagai seorang wanita"

Namaku  selalu di sebut dalam tiap doa ibu, namaku selalu berada di dalam hati dan pikiran ibu, setidaknya itu yang selalu dia ucapkan ketika aku membencinya.

Namaku diberikan mereka dengan harapan penuh di kemudian hari, harapan untuk menjadi panutan adik-adik, harapan masa tua mereka.

Namaku selalu terucap kasar meski artinya begitu lembut. Aku adalah Aleena, namaku bermakna lembut, ibu harap aku menjadi seseorang yang berhati lembut, suka menolong dan berbahagia selalu.

Tetapi ...

Aku terlalu jauh memahami arti namaku, lembut bukan berarti kepada siapapun. Bersikap lembut semestinya hanya kepada mereka yang memang memiliki hati yang lembut pula, bukan pada mereka yang memiliki hati yang rusak.

Namaku Aleena, dan kini aku bekerja sebagai psk.

*****

"Lena!"

"Adeline!"

Di jalan setapak menuju masjid terdekat, tak sengaja aku berjumpa dengan sahabat lamaku, Adeline. Dia sudah lama tidak main bersamaku, sudah hampir dua tahun lebih. Semenjak lulus sekolah menengah atas dia memilih untuk menikah dengan seorang yang berilmu agama, seorang ustadz muda pilihan orangtuanya.

Awalnya aku sedih dan ikut kecewa, Adelina harus menikah dengan orang yang bukan ia cintai. Aku dan Adeline sudah mengenal sejak zaman sekolah dasar, wajar jika aku ikut sedih dan kecewa.

Adeline pernah berpacaran dengan satu pria, dia adalah anak basket di sekolah. Mereka cukup lama menjalin asmara hingga akhirnya harus terpisah, merelakan Adeline bersama pria ustadz muda itu.

Kala itu aku menangis di pesta pernikahan Adeline, tak hanya aku, Adeline juga Beni mantan pacarnya pun ikut menangis. Aku seakan patah hati karena kandasnya hubungan mereka, selama mereka pacaran aku selalu tahu dan melihat itu.

Dan kini, kulihat Adeline begitu gembira, dengan wajah yang ceria sama seperti pertama kali aku berjumpa dengannya.

"Hei ... Apa kabar, Lena!"ia memelukku erat.

"Kabar baik, gimana kabarmu Lin."

"Aku baik, oh ya gimana kuliahmu? Lancar?"

Aku sudah berkuliah di fakultas seni dan budaya, aku memilihnya karena sempat berkeinginan menjadi seniman, penyanyi misalnya. Tetapi, kurasa cita-cita itu mulai memudar setelah aku mendengar ucapan ayah dan ibu malam itu.

"Alhamdulillah semuanya lancar, oh ya aku dengar kamu sedang mengandung? Sudah berapa bulan?"

"Alhamdulillah ini sudah masuk bulan ke tiga, aku sudah mulai merasakan tendangannya ... "Adeline terkekeh.

Teringat ucapan ibu malam itu, ketika menatap Adeline ada rasa ingin mengikuti keinginan mereka dan memiliki seorang anak. Dari dulu aku selalu senang dengan anak kecil, setiap kali sepupuku datang maka anaknya akan selalu padaku hingga mereka pulang , dan anak kecil pun suka dekat denganku.

Apa aku turuti saja keinginan mereka dan memiliki anak seperti Adeline?

"Emangnya sudah berasa ya?"aku menyentuh perutnya yang mulai membesar itu.

Untuk pertama kalinya aku melihat wajah Adeline begitu bahagia setelah pernikahan mereka. Apa lelaki itu berhasil membuat sahabatku ini luluh dan menerima dirinya?

"Kerasa nggak?"

"Hem, iya. Halo adek bayi, ini kakak ya nanti main sama kakak ya kalo sudah lahir,"godaku.

"Dih, kakak. Tante dong, berasa jadi emak mu dong aku."aku hanya terkekeh.

Sebenarnya banyak hal yang ingin aku ceritakan pada Adeline, tetapi apa mungkin aku menceritakan keluh kesah pada ibu hamil? Apa tidak mungkin jika nanti mengganggu sang bayi.

"Len ..."Adelin menyentuh bahuku.

"Ah ... Iya , Lin kenapa?"

"Ada yang sedang kamu pikirin?"

"Enggak kok, sedikit bengong aja. Ngebayangin nanti bayi ini kalo sudah lahir, pasti cantik seperti ibunya."

"Hem, tapi suamiku maunya anak cowok. Tapi tak apalah, apapun yang diberikan Allah akan aku jaga dengan hati lapang dada dan iklhas."

"Hem. Istri seorang ustadz sudah semakin lebih bijak nih."

"Hehe. Iya nih, oh ya aku mau cerita banyak sekali tentang dia sama kamu, sambil jalan ke masjid ya."

Kami berjalan menuju masjid terdekat untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Aku menggandeng tangan ibu hamil itu dengan lembut, menjaga agar jalannya tidak tertatih atau terjatuh.

"Gimana hidup selama dua tahun bersama ustadz muda, Lin?"

"Semuanya berjalan lancar tanpa ada hambatan, aku juga mulai mencintai lelaki itu. Dan ya dia berhasil meluluhkan hatiku yang terus tertuju sama Beni."

"Aku turut senang mendengarnya, apa sih tips agar tetap langgeng?"

"Haha. Bisa saja, baru dua tahun loh Len, masih terlalu muda untuk dibilang langgeng, ya aku harap semoga kami bisa terus bersama sampai maut memisahkan."

"Aamin, semoga ya."

"Len, kalo kamu menikah karena terpaksa, jangan pernah berpikiran untuk segera pergi dari lelaki itu, siapa tahu dia seperti Romi, aku tidak menyangka lelaki yang aku pikir kolot dan membosankan itu bisa menjadi suamiku sekarang yang lucu dan menyenangkan."

"Benarkah?"

"Iya. Setiap hari ada saja tingkah lakunya yang membuat aku tertawa, seperti kemarin Len, dia dengan kocaknya lari dari pintu rumah dan terjungkal gara-gara pengen cepet-cepet peluk aku,"kenangnya.

Aku turut bahagia untuk sahabatku, rupanya Romi bisa membuatnya lupa akan cinta yang dahulu yang seakan tak bisa memisahkan dirinya dari Beni.

Dan sekarang dia bahagia, dan aku harap bayangan Beni akan menghilang secepatnya dari kenangan Adeline.

Adeline terus bercerita mengenai Romi yang kocak dengan tingkah aneh yang berbanding terbalik dengan imej nya sebagai ustadz muda. Jika diluaran rumah dia akan terlihat kaku dan pendiam, lain lagi jika di rumah, dia sudah seperti seorang anak kecil yang selalu gembira.

Apa mungkin lelaki yang akan dijodohkan denganku ini sama seperti Romi? Apa mungkin nantinya aku akan bahagia seperti Adeline dan selalu gembira dengan tingkah laku suaminya?

"Ibu harap dengan menikah kamu bisa menjadi wanita yang lebih bertanggung jawab ..."

Ibu, apa tidak bisa aku tidak menikah saja? Jika hanya untuk membuat kemandirian aku rasa bisa aku lakukan tanpa pasangan.

Dan ya, aku tak memerlukan lelaki hanya untuk menjadi wanita yang bertanggung jawab.

"Len ... Kenapa? Cerita sama aku?"

Tanpa sadar air mata menetes seketika.

Benarkah Tuhan itu Ada?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang