" Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. "
[ Surah Ar-Room ayat 21 ]
Duduk di pelataran masjid. Aku menatap kedua mata Adeline, sahabatku yang tahu segalanya tentangku sewaktu masih bersama dulu. Sejak dua tahun ia menikah, kami tak pernah lagi berhubungan, meski lewat ponsel sekalipun.
Bukan lupa atau melupakan, hanya saja ada batasan dimana aku merasa tidak perlu ikut kehidupan yang sudah ia mulai itu.
Namun kini, di depan sahabatku ini, aku ingin mencurahkan semua isi hati yang terpendam selama ini. Tentang dia yang datang kepada ibu dan ayah, tentang dia yang ingin meminangku, tanpa persetujuan dariku.
"Kenapa?"ucap Adeline lembut menyentuh kedua tanganku.
Aku rindu suara sahabatku ini, aku rindu setiap kali ia bertanya mengapa aku menangis hari ini, mengapa aku diam hari ini, dan segalanya, aku rindu itu.
"Kalian bahagia Lin?"padahal aku bisa lihat itu dari tatapan matanya kala bertemu tadi, tapi entah mengapa aku ingin tahu lebih tentang kebahagiaan mereka.
"Tentu saja, aku bahagia dengan pernikahan ini, ada apa Len, cerita sama aku."
Menatap mata Adeline membuatku menangis, tak sanggup aku menahan terlalu lama, rasanya ingin ku tumpahkan semuanya hari ini.
"Aku di jodohkan, Lin."
"Dengan siapa? Apa kalian sudah bertemu?"aku manggut mengiyakan.
Sosok lelaki yang dikenal dengan nama Fadil itu datang bersama keluarganya awal bulan tahun ini, sebenarnya tahun lalu juga orangtuaku sudah membicarakan persoalan ini.
Aku mengusap wajahku.
"Namanya Fadil, anak pengusaha kopi. Orangtuanya datang awal Januari, dan orangtuaku menyetujuinya."
"Kamu ingin menolak perjodohan ini?"
"Aku tahu, jikapun menolak perjodohan ini tetap akan dilangsungkan, aku tidak bisa menolak, Lin. Hidupku bukan milikku."
"Len ... "
"Lin, aku harus apa. Aku tidak cinta sama dia, aku belum tahu siapa dia, apa harus aku menikah tanpa cinta?"
"Len, aku juga menikah tanpa cinta. Tapi buktinya, sekarang aku cinta sama suami aku. Semua bisa berubah seiring waktu, aku yakin itu."
"Tapi, bagaimana jika cinta itu tidak pernah datang? Apa harus aku hidup dengannya seumur hidup tanpa cinta, Lin?"
"Len, kamu harus mencoba dulu, siapa tahu dia memang jodoh kamu, meski dengan cara sedikit memaksa."
"Aku nggak bisa, Lin. Aku nggak mau menikah dulu, mereka pikir jika aku tidak berkeinginan menikah, aku suka sesama perempuan. Padahal kan aku cuma ingin hidup dengan keinginan ku."
"Aku nggak mau seperti mereka, setiap hari ribut, setiap hari ada saja kesalahan kecil yang jadi besar, aku nggak mau punya keluarga seperti itu, Lin."
Adeline memelukku erat. Hatiku terasa begitu sakit, begitu terusik dengan semua pemikiran aneh ini.
Ayah dan ibu menikah pun karena perjodohan di masa lalu, hingga kini mereka masih tidak memiliki cinta dalam hubungan keluarga ini.
Ibu menikah hanya untuk menjalankan peran seorang wanita. Ibu juga tidak pernah bisa berbuat banyak setiap kali ayah membuat kesalahan. Aku tidak ingin menjadi seperti ibu, aku tidak mau menikah hanya untuk menjadi perhiasan bagi lelaki.
"Kita shalat dulu, jernihkan pikiran dan berdoa, semoga Allah beri jalan terbaik buat kamu."
Adeline mengajakku ke dalam masjid seusia berwudhu.
Dalam sujudku yang panjang, aku berdoa kepadanya. Berharap ia memberikan jalan terbaik untuk hubungan ku, jalan hidupku. Jika memang dialah jodohku maka tunjukkan kepadaku jalan terbaik untuk bersamanya, namun jika dia bukan jodohku maka jauhkanlah dia dariku.
Aku dan Adeline membaca Yasin sejenak setelah shalat, membaca tiap ayat itu membuat hatiku terasa sedikit tenang, memikirkan kembali apa yang harus aku pilih nantinya.
Dua Minggu lagi mereka akan datang, pernikahan ku akan diresmikan di awal bulan depan. semoga saja Tuhan memberikan jawaban terbaik untuk aku terima.
"Oh ya, Len. Besok temanin aku belanja baju bayi ya, aku nggak punya teman sejak menikah. Cuma kamu yang mau jadi temanku."
"Tentu, sampai kapanpun kita akan terus berteman, meski sekarang kamu sudah punya kesibukan sendiri."
"Terimakasih, Len. Cuma kamu doang temanku,"ucapnya mengelus lembut tanganku.
"Boleh kamu ceritakan tentang Fadil padaku? Jika kamu berkenan."
Tentu aku akan menceritakan sosok pria itu kepada Adeline. Dia sahabatku yang berhak tahu.
"Fadil, dia itu anak pemilik kebun kopi, orangtuanya kaya dengan uang yang berlimpah. Setau aku dia rajin ibadah, dan juga dia lulusan pesantren saat SMA dulu,"jelasku.
"Berarti dia tahu tentang agama, bagus dong, jadi dia bisa membimbing kamu."
"Entahlah, Lin. Ada perasaan di lubuk hatiku mengatakan bahwa dia bukan buat aku."
"Aku tahu apa yang sedang kamu rasain, aku pun pernah berada di posisi kamu. Menikahi orang yang belum kita ketahui, dan berharap akan menikah dengan pacarku. Tapi, terkadang apa yang kita inginkan belum tentu buat kita, Len."
"Benar. Apa aku terima saja pernikahan ini Lin?"
"Sebaiknya kamu pikirkan lagi, jangan hanya karena mendengar saran dariku, kamu merelakan masa depanmu."
"Benar, ini hidupku, jadi aku harus bertanggung jawab atas diriku, makasih, Lin."
Setelah bertemu Adeline hari itu, aku pulang ke rumah dan bertemu ayah dan ibu. Di sore itu aku menyatakan kepada mereka untuk menerima pinangan Fadil. Dan aku ikhlas menjadi istrinya.
Ayah dan ibu terlihat begitu senang dan bahagia, akhirnya apa yang mereka inginkan pun bisa aku kabulkan.
Selain karena usiaku, pernikahan ini rupanya untuk menutupi pinjaman yang ayah terima dari ayah Fadil. Rupanya aku menjadi bahan pertukaran antara mereka.
Aku diam setelah mengetahui semua itu selepas ijab kabul. Aku menyesal? Tentu saja, pernikahan yang seharusnya dari awal aku tolak, kenapa aku terima hanya karena saran dari teman.
Sekarang aku tidak bisa menyesalinya. Hidupku sudah terlalu jauh, dan aku harus bisa bertahan hidup jika memang aku masih ingin hidup.
Menikah, dan merantau jauh bersama orang asing yang tak pernah aku kenal selama ini.
Lelaki ini, apa yang aku harapkan darinya. Perlahan semu yang dia sembunyikan dariku pun mulai terbuka, tentang kebohongan keluarganya tentang dia yang paham agama dan pernah lulus dari pesantren, semua itu kebohongan untuk meluluhkan hatiku.
Seharusnya aku tetap dengan pendirian saat itu, menolak dengan keras dan melawan perjodohan ini.
Tapi, aku telah kalah dengan lemah ya hati dan rasa cintaku kepada ayah dan ibu.
Sekarang, aku harus menikmati neraka yang aku buat sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benarkah Tuhan itu Ada?
RomantizmBerkisah tentang seorang wanita yang terpaksa menjadi seorang wanita penghibur.