"kamu yakin, Vi?"
"Yakinlah, masa nggak yakin. Lagian kita sudah terlalu jauh sampai sini."
"Tapi, Vi. Rumahnya sangat menyeramkan!"
"Namanya juga kita mencari hantu, masa nyarinya di rumah bagus? Kan nggak mungkin."
"Ya, tapi kan bisa cari tempat yang masih dekat dengan pemukiman, Vi."
"Sudah diem."
Malam itu, malam Jumat Minggu ke dua di bulan November. Dua orang gadis dengan senternya berjalan menuju sebuah rumah terbengkalai di ujung desa. Rumah itu sudah tidak berpenghuni sejak puluhan tahun silam, banyak rumor yang mengatakan bahwa di rumah itu pernah terjadi tragedi yang menyeramkan. Sehingga membuat rumah itu di gentayangi, banyak juga yang bilang pernah melihat ketika melintasi rumah tersebut.
Vivi dan Mora, dua gadis kelas sebelas. Remaja yang masih memiliki rasa penasaran yang tinggi, membuat dua gadis itu memberanikan diri datang langsung ke rumah tua itu.
Mereka dengan senternya memasuki rumah terbengkalai tersebut dengan perasaan takut, sebenarnya hanya Mora. Karena Mora ialah gadis penakut yang tak pernah berani pergi ke toilet sendirian di malam hari.
Entah apa yang membuat ia menjadi dekat dengan Vivi si gadis penakluk hantu tersebut. Perbedaan mereka
Sangat kontras sehingga banyak yang berpikir, mereka tak pantas untuk disebut sebagai sahabat.Namun tidak untuk keduanya, mereka saling melengkapi satu sama lain.
"Vi ... Kita pulang aja yuk!"
Mora terus membuntuti Vivi di belakang. Tangan gadis itu tak lepas dari ujung baju yang dikenakan oleh Vivi. Vivi merasa sedikit kesal dengan tingkah temannya itu sehingga membuatnya membalikkan badan dan melepaskan tangan Mora dari bajunya dengan keras.
"Mora. Bisa nggak sih nggak usah lebay, di sini tuh nggak ada hantu. Kita ke sini cuma buat main-main aja,"Vivi menaikkan suaranya yang cukup keras.
"Vi ... "
"Sudah, sekarang gini. Kalo kamu masih mau ikut sama aku, diem dan ikutin aja. Tapi kalo kamu mau pulang, silahkan pulang aja, aku masih mau di sini."
Mendengar ucapan Vivi membuat Mora sedikit ragu, apakah dia tetap ikut dengan Vivi atau segera pulang sebelum tengah malam. Tetapi, rumahnya jauh dan dia tidak bisa mengendarai motor, jadi dia pun memutuskan untuk tetap ikut dengan Vivi.
Rumah itu bertingkat, ada dua lantai lagi dan itu sangat luas sekali. Meskipun gelap, dengan senter di tangan tak membuat mereka tak takjub dengan isi rumah tersebut.
Bangunan permanen itu memiliki dinding yang tinggi, beberapa perabot rumah pun masih berada di sana. Vivi dan juga Mora melihat lukisan terpampang di atas dengan megah, terbalut sarang laba-laba.
Sosok wanita dengan sanggulnya.
"Menurut kamu, orang yang tinggal di rumah ini pasti orang yang punya banyak uang dan juga berdarah biru,"cetus Vivi sambil mengarahkan senter tepat di wajah lukisan itu.
"Darimana kamu tahu kalau yang menempati adalah orang berdarah biru?"
"Kamu nggak lihat? Cuma orang berdarah biru yang mau dan Sudi menghabiskan uang demi lukisan besar dengan latar wanita keraton seperti ini, orang miskin seperti kita pasti berpikir dua kali untuk membelinya."
"Benar juga sih, tapi Vi. Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih?"
"Aneh? Apanya yang aneh, lukisan seperti ini sudah sering aku lihat di beberapa rumah orang kaya."
"Kamu sering masuk rumah orang gitu?"
"Ish. Nggak gitu, maksudku beberapa sepupu dan juga teman lamaku kan orang kaya, dan mereka punya juga lukisan sebesar ini, tapi bukan lukisan wanita ini."
Mora hanya ber-O ria. Mora melirik dengan ujung matanya ke arah kanan, sejak tadi dia merasa ada sesuatu di dekat mereka dan itu sangat menggangu.
"Vi ... Kamu ngerasa ada yang aneh nggak?"Mora memastikan bahwa bukan dia saja yang merasakan gerakan aneh di belakang mereka.
"Hal aneh a-apa ... Mora!"
Vivi berteriak kencang, sebuah belati tajam menembus perut kecil Mora hingga mengeluarkan darah yang begitu deras.
"V-i ... "Suara Mora tercekat menahan rasa sakit yang tidak tertahankan.
"Mora ... "Vivi gemetar tak sanggup bergerak.
Matanya tertuju tepat di bagian perut Mora yang kini telah tertancap belati tajam.
Kemudian seseorang yang telah menusuk Mora dari belakang mencabut dengan kencang belati itu hingga meninggalkan rintihan sakit dari gadis itu. Dia menatap Vivi dengan nyalang.
Vivi segera menghindar ketika orang itu mengarahkan belati tajam itu kepadanya. Dia berlari menghindar, vas bunga di dekat perapian ia lemparkan sehingga membuat suara gaduh.
Orang itu tak berhenti dan mengejar Vivi , gadis berusia tujuh belas tahun itu menaiki anak tangga dan terus menatap ke belakang dimana orang dengan belati mengejarnya.
Ketika Vivi sampai di lantai dua, dia tidak menyadari bahwa orang yang telah menusuk sahabatnya itu bukan hanya seorang diri, melainkan mereka berkelompok.
Vivi yang tak pandai bela diri pun harus tertangkap oleh orang itu.
Belasan tusukan pun ia terima, luka sayatan itu membuat tubuhnya menggeliat kesakitan. Vivi menatap orang yang terus menusukkan belati tanpa perasaan itu, ia tak bisa melihat wajah ataupun matanya. Vivi tak bisa bertahan, napasnya mulai menipis, rasa sakit itu terlalu berat.
Tubuh Vivi yang lemah pun di angkat oleh orang dengan penutup wajah tersebut, lalu kemudian Vivi terlempar dari lantai dua hingga menghantam lantai dasar.
Vivi terbaring dengan darah mengucur deras dari kepalanya, sedangkan Mora terbaring di sampingnya dengan nyawa yang tersisa.
Mora dan juga Vivi tak sanggup untuk bertahan, air mata terakhir mengucur di ujung pelupuk mata.
Kenangan demi kenangan terputar indah di dalam benak mereka, penyesalan telah berani datang ke rumah ini pun menjadi salah satu ingatan terkahir mereka.
"Mereka sudah mati?"
"Aku pikir begitu."
"Aku tidak yakin, sebaiknya aku pastikan lagi."
Dor ... Dor ...
Empat kali tembakan menembus kepala Mora hingga nyawa yang sedikit bertahan pun lenyap seketika.
Lima kali tembakan juga menembus kepala Vivi yang sudah tidak bernyawa.
Kedua orang itu melepas penutup kepalanya, berjongkok dengan mengangkat kepala Vivi dan juga Mora.
Mereka tertawa puas saat memastikan bahwa kedua gadis belia itu benar-benar sudah tiada.
di rumah tua yang telah menjadi tempat angker bagi sebagian orang kini semakin menjadi angker dengan kematian dua gadis SMA itu.
Berita kematian Mora juga Vivi pun menyebar, semua orang prihatin dan menyalahkan mereka berdua karena dengan bodohnya datang menjemput ajal di tempat yang seharusnya tidak mereka datangi.
Kini kisah dua gadis penakluk hantu harus berakhir di tempat yang mereka sebut sebagai markas hantu.
"Vi. Aku takut!"
"Sudah diam, tidak perlu takut. Sekarang giliran kita yang menaklukkan para manusia itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
friendship of the Ghost
TerrorBerkisah tentang persahabatan para hantu di rumah angker