Bab 3.
Biarkan Fanny bahagia dengan kekasihnya, Leo.
Sialan!
Leo mengumpat sejadinya. Dia membanting ponselnya ke atas ranjang, dan disusul tubuhnya ia lempar ke atas kasur empuk itu.
Apakah gurat di wajahnya terbaca begitu jelas oleh Tsamara, bahwa kembalinya ia ke Indonesia memang untuk Fanny. Untuk perasaannya sendiri.
Tapi Leo juga sadar, ia tidak segila itu. Jika Fanny sudah memiliki kekasih, maka ia pun tidak akan mengusik. Dia sadar dia yang bersalah. Dia sendirilah yang menjadikannya kalah seperti ini. Mengakui perasaannya dengan begitu terlambat.
Jadi, ini sambutan menyenangkan yang dia dapatkan setibanya di Indonesia. Melihat Fanny bersama kekasihnya. Dan mendapat ultimatum dari Tsamara.
Lelaki itu terkekeh menyedihkan. Dia menutup matanya dengan sebelah lengan, berusaha terpejam. Setelah mengiakan permintaan Tsamara untuk tidak mendekati Fanny—demi membuat Tsamara lega. Leo mengobrol panjang lebar tentang Jakarta yang telah ia tinggalkan tiga tahun, dan tentang Swiss yang menjadi tempat tinggal barunya.
Sampai dia pulang, dia tidak sempat bertemu dengan Alta, karena bocah itu masih tidur. Dan kabar bahagia ia dapatkan, jika Alta telah memiliki adik.
Sepertinya, ia memang menghilang terlalu lama hingga tidak mengetahui tentang kabar bahagia keluarga Tsamara. Ah, benar, dia menghilang tanpa kabar.
Leo membuka tangkupan lengannya, ditatapnya langit-langit kamar tidurnya dengan sorot sendu. Meski semua hal yang menyambutnya ini di luar kendalinya, hidup harus tetap berjalan, bukan?
Dia akan tetap menjadi arsitek. Dia akan tetap jadi teman Tsamara, meski mungkin tidak akan seperti dulu lagi. Dan dia akan menjaga jarak dengan Fanny, sesuai permintaan Tsamara. Bisakah ia melakukannya?
Leo sungguh ragu akan itu. Bertahun-tahun dia memungkiri perasaannya untuk Fanny. Namun, ketika ia berani mengakui, ia dipaksa untuk menyerah. Untuk menguburnya tak berbekas. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang, selain menjaga jarak. Melihat Fanny dari kejauhan.
Dia tidak mungkin terang-terangan menghancurkan hubungan Fanny dengan kekasihnya, bukan?
Leo tercekat untuk satu pemikiran acak yang mampir di benaknya.
Menghancurkan?
Tidak tidak. Dia tidak pernah berpikir untuk itu. Dia tidak seegois itu memenangkan perasaannya sendiri.
Tapi kamu baru saja berpikir untuk menghancurkan hubungan mereka, Leo.
"Berengsek!" Leo mengumpat keras. Melempar bantal ke sembarang arah. Degup jantungnya menjadi begitu tidak beraturan. Emosi membumbung tinggi di dadanya. Diiringi dengan denyut menyakitkan.
Mengapa segalanya sekacau ini?
"Leo, lo waras, kan?"
Pertanyaan lirih yang mampir ke gendang telinganya membuat Leo menoleh ke arah pintu dan menemukan Angga di sana, hanya kepalanya yang menyembul. "Kapan lo pulang?" Leo berbalik tanya. Mengabaikan pertanyaan Angga sebelumnya. Dia sendiri tidak yakin apakah sekarang ia waras atau tidak?
Leo bangkit dari rebahnya dan terduduk di atas ranjang, menatap Angga sepenuhnya.
"Baru balik. Pas banget sama lo yang ngehancurin hiasan dinding apartemen gue." Angga mengarahkan tatapan pada hiasan dinding yang tergolek mengenaskan di lantai dengan frame yang berantakan. Itu adalah hasil karya corat-coretnya perpaduan dari banyak warna membentuk pola abstrak.
Mengikuti arah tatapan sang sahabat, Leo meringis di detik berikutnya, melihat kekacauan apa yang telah dia lakukan. "Sorry, gue nggak sadar ngancurin lukisan lo." Dengan cepat, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah frame berantakan itu. Dia bahkan tidak mendengar bunyi pecahannya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Love
RomanceSpin Off ---PLAY DATE Fanny Zallina memiliki rahasia yang ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Ia telan segala kesakitan dan luka hati yang kian menggunung dan menyesakkan dadanya, tanpa seorang pun tahu. Leo Asshauqi membutuhkan waktu bert...