a

207 29 6
                                    

Aku hanya ingin Ayah bahagia.

Begitulah kalimatku tempo hari ketika Ayahku meminta izin padaku untuk menikah lagi, setelah Ibuku tiada sejak aku kecil. Aku sebetulnya merasa takut dengan semua yang akan terjadi kedepannya.

Aku berpikir bagaimana jika ternyata Ibu tiriku jahat seperti di film-fim? Bagaimana jika ternyata, dia tidak akan pernah menyayangiku? Dan, bagaimana jika dia merebut semua kasih sayang yang selama ini Ayah berikan padaku?

Memikirkan itu semua, tentu membuat kepalaku jadi sakit. Aku tidak suka dan tidak mau, tapi aku juga tidak tega menolak keinginan Ayah. Sebetulnya, Ayah tidak memaksaku untuk menerima calon istrinya itu, namun sebagai anak aku mengerti jika Ayah butuh seseorang yang menemani hari-harinya, serta mengurus segala keperluan yang ia butuhkan.

Selain itu, Ayah sudah lama sekali menjagaku seorang diri. Mungkin, memang ini sudah saatnya untuk aku menerima kenyataan pahit ini, meski rasanya lidahku tetap saja kelu untuk memanggil seorang wanita lain dengan sebutan Ibu.

"Apa ada yang sedang kamu pikirkan?" Aku menoleh, rupanya ada Yui yang menghampiriku.

Apa boleh aku menceritakan masalah ini kepada Yui?

"Ayahku," aku menjeda ucapanku, mencari-cari kalimat yang pas untuk kuungkapkan. "Hendak menikah lagi," lanjutku, pada akhirnya.

Yui nampak terkejut mendengar ucapanku. "Bagaimana Tuan Chet akan menikah lagi? Aku kira dia hanya akan mengurusmu saja sepanjang hidupnya," ucap Yui tidak percaya.

"Tidak tahu. Dia memberitahuku secara tiba-tiba."

"Lalu, apakah kamu tahu siapa calon ibumu?" tanya Yui.

Yui juga sepertinya penasaran dengan ceritaku saat ini, tapi aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dikarenakan berita ini memang sangat mendadak. Aku bahkan belum tahu wajah calon Ibu tiriku akan seperti apa jadinya.

"Nanti aku kabari lagi jika Ayah sudah menunjukkan foto calon istrinya."

"Baiklah. Tapi, bagaimana dengan perasaanmu? Apa kamu baik-baik saja dengan semuanya?"

Temanku ini memang sangat pengertian. "Entahlah, aku pun bingung. Tidak ingin, tapi tidak bisa menolak juga. Bimbang sekali."

"Aku mengerti." Yui, gadis berambut pendek itu menyentuh lenganku seraya meremasnya pelan. "Tidak perlu buru-buru untuk menerima sesuatu jika memang itu sulit untuk dilakukan."

"Terima kasih," aku tersenyum pada Yui. "Ah benar, bukannya sekarang kelas Ms. Ally? Kita harus bergegas sebelum dia sampai duluan!"

Sial memang. Aku lupa jika dosenku kali ini sangat disiplin dan tepat waktu, telat sedikit saja aku bisa menjadi sasaran amukannya, namun untungnya Ms. Ally datang sedikit terlambat dari biasanya.

Sore hari menjelang, ketika seluruh kelas sudah usai, aku melihat mobil Ayah sudah menunggu di parkiran. Pria berusia empat puluh tahun itu tersenyum kala melihatku mendekat. Ayah memang terlihat lebih segar dari orang seusianya, untuk itulah terkadang kehadiran Ayah selalu membuat beberapa mahasiswi melirik ke arahnya.

Sungguh pesona seorang pria matang.

"Sudah lama menunggu, Yah?" tanyaku, saat sudah di depan Ayah.

Ayah menggeleng lalu membukakan pintu penumpang untukku. Perlakuan itu memang sederhana, tapi tidak semua Ayah bisa melakukannya. Beruntungnya aku, dibesarkan oleh sosok Ayah yang bertanggung jawab dan begitu penyayang padaku.

Aku sangat menyayangi Ayah. Aku tidak akan bisa hidup tanpa Ayah, dan, kebahagiaan Ayah nomor satu. Aku tidak akan menjadi penghalang atas kebahagiaan yang ingin dia raih, selama dia tidak berubah sedikitpun kepadaku.

From A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang