b

114 28 2
                                    

Hari ini hujan mengguyur bumi sejak pagi hingga membuatku merasa malas untuk beraktivitas, tapi apa mau dikata? Aku harus tetap berangkat ke kampus karena hari ini ada banyak jadwal yang harus kulakukan.

Sebagai mahasiswa kedokteran, aku memiliki kesibukan yang cukup padat. Jarang memiliki waktu untuk bersantai karena banyaknya tugas, ujian, serta praktikum yang harus aku lakukan di hari yang sama dan pola itu terus berulang selama empat semester ini.

Sebagai anak yang tidak begitu ambisius, kuliah di Fakultas Kedokteran memberikan tantangan yang begjtu berat untukku. Ditambah lagi, teman-teman seangkatanku memiliki kecerdasan yang tinggi hingga membuatku terkadang merasa minder dihadapan mereka. Aku tidak sedang mengatakan bahwa diriku bodoh, hanya saja ada beberapa hal yang membuatku merasa kurang cocok berada dilingkungan itu.

Namun, untungnya aku memiliki seseorang yang selalu membantuku. Kami masih satu angkatan, satu kelas pula. Dia pintar, sangat pintar bahkan. Dia selalu membantuku mengerjakan beberapa tugas praktikum yang sangat sulit itu, ditambah lagi saat akan ada ujian OSCE, kami akan menghabiskan waktu untuk belajar bersama-sama. Sebenarnya, tidak dikatakan belajar bersama juga karena dia lebih banyak mengajariku.

"Hey. Sudah menunggu lama?"

"Folk."

Ah ya, dia Folk. Orang yang aku maksud adalah Folk. Laki-laki baik hati itu yang selalu membantuku dalam setiap kesulitan, beruntung sekali aku memiliki kekasih sebaik Folk.

"Untung saja hujannya berhenti," ujar Folk saat dia sudah berada di teras rumahku. Rintik air hujan masih turun namun sudah tidak sederas tadi. "Mau langsung berangkat atau bagaimana?"

"Kamu tidak masalah jika kita langsung berangkat?"

"Tidak. Kupikir lebih baik datang lebih awal untuk memghindari macet. Ayo."  Aku mengambil payung dari dalam kemudian kami berjalan menuju mobil Folk menggunakan payung agar terhindar dari rinti air hujan.

"Ngomong-ngomong bagaimana pertemuanmu kemarin?" tanya Folk usai kami masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan sedan berwarna hitam ini menuju kampus tempat kami belajar. "Apakah seru?"

"Lumayan. Calon istri Ayah sangat cantik, aku saja sampai heran kenapa perempuan lajang sepertinya mau menikah dengan Ayah yang sudah punya satu putri berusia dua puluh tahun? Padahal dia sangat cantik, pasti banyak laki-laki lain yang mau dengannya."

Sebelum menjawab, Folk meletakkan tangannya dipahaku. Sudah menjadi kebiasaan Folk juga sedang mengemudi, awalnya aku merasa risih tapi lama kelamaan aku sudah terbiasa dengan perilakunya saat ini. "Ayahmu pasti memiliki sesuatu yang bisa menarik perhatian calon ibumu."

"Mungkin saja. Ayahku tampan dan tentu saja banyak uang. Tapi aku rasa bukan kedua hal itu yang menjadi alasannya, sebab Tante Faye pun memiliki uang yang banyak."

Aku bisa mengatakan itu karena restoran yang kemarin aku datangi ternyata adalah milik Tante Faye. Selain restoran, Tante Faye juga memiliki bisnis di bidang perhotelan, dan salon serta klinik kecantikan. Aku tidak tahu bagaimana sosok sesempurna itu mau menjadi seorang istri dari ayahku?

"Pantas saja. Mungkin Tante Faye merasa setara? Bukan serta merta ekonominya saja yang setara, namun setara dari pemikiran, pendidikan, dan juga lingkungan? Lagipula, bukankah itu menjadi hal yang lumrah bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta? Terkadang logika kita dengan logika orang yang sedang jatuh cinta agak berbeda. Jadi menurutku tidak perlu dipikirkan."

"Uhh.. aku hanya heran saja."

"Hahaha, baiklah. Aku mengerti perasaanmu."

"Ah iya, ada pertunjukan seni di Fakultas Kesenian nanti malam."

From A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang