"Katanya, jadi relawan itu mulia. Tapi bagaimana kalau di tengah usaha kita, kita justru gagal menolong mereka?" - Naura Permata.
Sekelompok anak muda berkumpul, membawa harapan dan mimpi untuk membuat perubahan. Tapi, terkadang, jalan yang mereka p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✿ • ✿ • ✿ • ✿ • ✿ • ✿
Pagi yang cerah menyambut Palembang dengan semilir angin yang lembut. Matahari belum tinggi, tapi rumahku sudah riuh oleh suara langkah kaki dan aroma teh manis yang baru diseduh Ibu.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil berdiri di depan pintu kamar, memandangi koper biru yang sudah kupersiapkan sejak semalam.
"Ibu! Ayah! Naura izin pamit dulu ya!" seruku sambil tergesa membawa koper ke ruang tamu.
Namaku Naura Permata, 18 tahun, sudah jatuh cinta pada dunia kerelawanan sejak awal masuk SMP. Aku anak tunggal dari Ayu Lestari dan Indra Maulana. Meski sering khawatir, mereka tahu ini jalan yang kupilih. Ini bukan kali pertamaku jadi relawan—dari distribusi logistik sampai dampingi anak-anak di pelosok, aku sudah pernah terlibat.
Tapi kali ini berbeda. Tujuanku adalah Bandung. Kota yang dingin, katanya. Kota yang penuh cerita, katanya lagi.
"Ibu, yakin nih Naura boleh berangkat keluar pulau?" tanyaku sambil memeriksa koper kembali.
Ibu hanya tersenyum sambil memberiku satu kotak bekal. "Yakin. Tapi inget, jangan sok kuat. Laper bilang, cape bilang, sakit apalagi—langsung kabarin."
Kupeluk Ibu dengan erat. Ayah menepuk pundakku pelan.
"Kamu harus bisa jaga diri baik-baik di sana, ya, Nak," kata Ayah lembut.
"Tenang, Naura anaknya kuat, kok. Kayak Indomie—kuat di segala medan," jawabku sambil tertawa.
Dengan tekad yang kuat, aku melangkah meninggalkan rumah. Meski ada sedikit berat di hati, aku tahu ini langkah yang harus kuambil. Mobil yang kupesan lewat aplikasi sudah menunggu di depan. Aku masuk, menarik napas panjang, dan tersenyum kecil.
Aku sengaja memilih untuk menaiki kereta. Bukan karena sok vintage atau apa, tapi karena aku ingin menikmati perjalanan. Rasanya lebih hidup, lebih tenang, dan jujur saja—lebih cocok untuk orang yang sedang ingin melihat pemandangan lewat jendela.
Perjalanan ini mungkin akan memakan waktu cukup lama, namun bukankah itulah yang menjadikannya sebuah petualangan? Waktu yang panjang memberi kesempatan untuk melihat lebih banyak, berpikir lebih dalam, dan merasakan setiap detik yang berlalu.
Kini aku tengah duduk di kursiku, memilih tempat di dekat jendela. Rasanya lebih tenang—aku bisa menikmati pemandangan yang berganti-ganti di luar sana, sambil membiarkan pikiranku mengalir dan merenung perlahan.
Kereta ini sebentar lagi akan berangkat menuju Bandar Lampung. Mungkin sebagian orang akan bertanya, “Lho, katanya mau ke Bandung? Kok malah ke Bandar Lampung?”
Tenang, bukan nyasar kok. Memang tidak ada rute langsung dari Palembang ke Bandung, sehingga aku harus menempuh perjalanan ini secara bertahap. Bagi sebagian orang mungkin ini melelahkan, tapi bagiku, justru inilah bagian dari petualangan.