Aku tidak mengerti.
Semula aku tidak mengerti, namun perlahan aku sadar. Apa yang ku rasa bukan perasaan biasa. Ini bukan perasaan bahagia saat bisa bertemu sahabat lama kembali. Tapi ini perasaan rindu. Rindu yang terselip cinta.
Semenjak aku hijrah dan berpisah darinya, aku sadar aku seperti kehilangan sebagian hatiku. Tapi aku harus kembali pada kenyataan. Aku tak bisa terus berdekatan dengannya. Karena aku ingin sepenuhnya berkomitmen dengan Allah.
Kini aku harus dihadapkan kembali pada sesuatu yang telah hilang itu. Sahabat, yang dulu diam-diam aku segani. Yang dulu selalu menjadi tempat curahan hatiku semasa sekolah. Yang dulu selalu bersama saat suka dan duka denganku. Yang dulu membuatku merasakan cinta pertama. Rizwan.
Sudah 5 tahun lamanya aku berpisah dengannya. Sungguh aku tak menyangka. Kini dia pun telah berubah. Bukan Rizwan yang urakan, berantakan dan sesuka hati. Aku benar-benar melihatnya sangat berbeda dan bahkan hampir tak mengenalinya.
Sewaktu aku memutuskan untuk hijrah dan mulai berjilbab syar'i saat duduk di bangku kelas 3, setelah ujian, Rizwan awalnya tidak mendukungku. Dia mengira aku akan menjauhinya. Memang seharusnya begitu, dan aku pun hampir tidak rela. Namun aku sudah mantap untuk berubah, dan mau tidak mau aku harus menjaga jarak dengan Rizwan. Sejak itu, aku sudah tidak pernah berdekatan dengannya lagi, karena memang aku yang menjauhinya. Ia pun semakin urakan, walaupun sering berusaha mengajakku bicara.
Waktu itu aku memang tidak rela karena aku mencintainya bukan sebagai sahabat. Tapi pelan-pelan aku berusaha melupakan rasa itu dan berusaha mencitai Rabb-ku terlebih dahulu. Aku sudah lama sekali jauh dariNya.
Tapi sekarang, aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat melihat Rizwan. Ya, Rizwan yang sekarang.
Hari ini adalah hari pertamaku sebagai seorang desainer grafis di sebuah perusahaan penerbitan. Alhamdulillah, aku sangat senang. Namun, baru saja aku mulai bekerja, bosku memperkenalkan aku pada manajer perusahaan itu.
Muhammad Rizwan Al-Kahfi.
Saat kami bertemu untuk pertama kalinya setelah 5 tahun, dia hanya tersenyum, kemudian pergi dari hadapanku. Aku sama sekali tidak mengatakan ia sombong. Aku justru tersanjung dengan perlakuannya padaku. Ia tidak berusaha mengajakku bicara lebih lama, karena itu tidak aku inginkan. Entahlah, kenapa aku begitu bahagia. Mungkin saja kalau orang lain yang menjadi aku, pastilah dia marah dan membenci Rizwan.
Mulanya aku terkejut melihat dia lagi. Apalagi dia adalah atasanku sekarang. Pun rasanya ingin aku menyapa, tapi dia hanya tersenyum, kemudian pergi. Yah, sudah. Itu sudah cukup. Semoga saja dia masih ingat aku.
Tapi, Ya Rabb. Seakan-akan rasa cinta yang sempat hilang itu muncul kembali.
* * *
"Assalamu'alaikum Mbak Fidha. Ini ada beberapa dokumen untuk Mbak periksa," kata seorang pegawai sambil menghampiri mejaku. Namanya Melia, salah satu editor.
"Wa'alaikum salam Mbak Mel. Oke, terima kasih. Taruh aja di atas meja," sahutku sambil terus mengoperasikan mouse-ku.
"Mbak, denger-denger, Mbak Fidha ini temen SMA-nya Pak Rizwan ya?" tanya Melia tiba-tiba.
Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajah si penanya, "Iya, bener Mbak. Tahu dari mana?"
"Mbak kenal Mas Gun? Dia di sini sebagai Marketing Manager lho," kata Melia.
"Gun? Oooh, Gunawan. Iya, dulu dia teman sekelas saya. Ternyata satu kantor juga," kataku sambil mangut-manggut.
"Kok saya lihat Pak Rizwan cuek banget ya sama Mbak? Iya sih, Pak Rizwan emang cuek sama pegawainya, terutama yang perempuan. Tapi beliau orangnya baik, makanya naik pangkat jadi manajer. Nah, padahal Pak Rizwan dulu satu sekolah sama Mbak, kenapa cuek banget ya?" tanya Melia sambil berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Memang Misteri
EspiritualJodoh memang misteri. Bisa orang tak dikenal, musuh, bahkan orang yang pernah dekat dengan kita. Seperti yang dialami oleh Fidha, seorang Muslimah yang tak menyangka bisa bertemu jodohnya melalui jalan yang tak terduga.