---
Malam ini di asrama sunyi sama seperti perasaan Krow, sepi dan penuh dengan kebingungan yang tak terucapkan. Angin malam berhembus lembut, namun tak mampu meredakan gelisah yang menghinggapi hatinya. Di luar jendela kamar asrama, langit terlihat begitu gelap, hanya disorot oleh sinar bulan yang samar. Krow duduk di tepi tempat tidur, matanya kosong menatap ke depan, seolah mencari jawaban di kegelapan malam.Ia merasa terjebak dalam sebuah dilema yang tak bisa ia selesaikan. Di satu sisi, Zaki adalah teman terbaik yang pernah ia miliki—seseorang yang selalu ada untuknya, yang bisa mengerti tanpa perlu banyak kata. Namun, di sisi lain, perasaan yang tumbuh dalam hatinya terasa begitu asing. Krow tidak tahu apakah itu hanya sekadar rasa nyaman atau perasaan yang lebih dalam. Ia takut jika ia mengakui perasaan itu, semuanya akan berubah, dan ia tak ingin kehilangan Zaki.
Krow menghela napas panjang. Seberapa lama lagi ia harus terus berlari dari kenyataan ini? Setiap kali melihat Zaki, hatinya berdebar, namun ia selalu berusaha menutupinya dengan sikap dingin dan kasar. Itu cara terbaik untuk menjaga jarak, bukan? Tapi apakah itu benar-benar cara yang tepat?
Tiba-tiba, ponsel di meja samping tempat tidur bergetar. Krow menoleh dan melihat nama Zaki terpampang di layar. Sebuah pesan singkat masuk, dan sepertinya Zaki tahu betapa kacau perasaan Krow saat ini.
Zaki: "Krow, gue ngerti kalau lu butuh waktu. Tapi gue cuma pengen lu tahu, gue gak nyerah. Gue mau tetep ada buat lu, apapun yang terjadi."
Krow membaca pesan itu berulang kali. Rasanya hatinya teriris. Ia ingin membalas, tapi kata-kata yang tepat tak kunjung muncul. Ia terlalu takut kehilangan Zaki sebagai teman, tetapi juga tak bisa mengabaikan perasaan yang semakin nyata.
Apakah perasaan itu cukup kuat untuk merubah segalanya? Apakah ia bisa menerima kenyataan jika hubungan mereka berubah?
Krow menatap pesan itu satu kali lagi, sebelum akhirnya menekan tombol hapus tanpa membalas. Ia tahu, saat ini, ia belum siap untuk menghadapi kenyataan itu. Ia hanya ingin waktu untuk berpikir, untuk menemukan jalan keluar dari kebingungannya.
Krow berjalan cepat, meninggalkan asrama tanpa tujuan yang jelas. Ia merasakan hatinya gelisah, terombang-ambing di antara perasaan yang tak ia mengerti. Begitu banyak hal yang berputar di kepalanya—tentang Zaki, tentang perasaan yang muncul begitu tiba-tiba, dan tentang semua keraguan yang tak bisa ia hilangkan.
Ia tak tahu harus bagaimana.
Di lorong yang sepi, Krow berhenti sejenak, menyandarkan punggungnya ke dinding. Pandangannya terhenti pada langit malam yang kelabu, dihiasi dengan rintik hujan yang semakin deras. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya, namun itu tidak mudah.
Semakin ia berpikir, semakin ia merasa terperangkap. Semua yang Zaki katakan tadi, tentang perasaan yang tulus, terasa seperti beban yang ia tak tahu harus dipikul atau dilepaskan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Krow menoleh, dan tanpa bisa menghindar, Zaki sudah berdiri di hadapannya, menatap dengan mata penuh harapan.
"Krow..." Zaki memanggil dengan suara yang lembut, tapi jelas penuh dengan keraguan.
"Kenapa, Jak? Mau apa lagi?" Krow menjawab dengan nada yang lebih keras dari yang ia inginkan, mencoba menahan emosi yang ingin meledak.
Zaki tampak terkejut dengan respons Krow, namun ia tetap berdiri tegak. "Gue cuma mau bicara... Kalau lu masih butuh waktu, gue bisa tunggu. Gue nggak akan pergi."
Krow menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang sudah menggenang di matanya. "Lu nggak ngerti, Jak. Ini nggak sesederhana itu. Gue nggak bisa cuma kayak gini. Kita udah temenan lama, dan gue nggak mau semuanya jadi aneh cuma karena perasaan gue... atau perasaan lu."
Zaki terdiam, kemudian menggeleng perlahan. "Gue ngerti kok, Krow. Gue ngerti kalau ini nggak gampang buat lu. Tapi, gue nggak bisa terus begini. Gue nggak bisa cuma jadi teman lu sementara hati gue bilang beda."
Krow merasa ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia pun merasa hal yang sama, bahwa ada bagian dari dirinya yang merasa takut kehilangan Zaki sebagai teman. Tetapi kata-kata itu sulit keluar.
"Lu nggak takut kehilangan kita?" Krow akhirnya bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Zaki menghela napas. "Gue takut, Krow. Tapi gue juga takut kalau gue terus-terusan ngubur perasaan gue. Gue cuma mau lu tahu, gue beneran serius sama ini. Kalau lu nggak bisa ngerasain hal yang sama, gue bisa terima. Tapi gue nggak bisa terus-terusan nungguin lu tanpa kepastian."
Krow merasa dadanya sesak. Semua yang Zaki katakan itu benar. Tapi ia merasa bingung. Ia masih ingin bersama Zaki, namun tak tahu harus memulai dari mana. Perasaan itu terlalu rumit. Dan yang lebih menyakitkan, Krow merasa dirinya tak pantas untuk Zaki.
"Apa yang harus gue lakukan, Jak?" Krow bertanya, suara yang terpecah antara bingung dan frustasi.
Zaki menatap Krow dalam diam, lalu berkata, "Yang terbaik buat kita berdua adalah jujur. Gue nggak ingin jadi beban buat lu, dan gue nggak mau kita terjebak di zona nyaman yang bikin kita berdua bingung."
Krow merasa terjepit. Satu sisi ia ingin mengatakan "ya," ingin melangkah bersama Zaki, tetapi sisi lain dari dirinya mengatakan untuk tetap bertahan dengan apa yang sudah ada. Teman. Hanya teman. Itu yang paling aman.
Namun, meskipun ia mencoba mengabaikan perasaan itu, Krow merasa sesuatu di dalam hatinya berbisik bahwa ia juga ingin lebih dari sekadar teman. Itu adalah perasaan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Perasaan itu seperti badai yang datang tiba-tiba, menghancurkan segala hal yang ia percayai tentang hubungan mereka.
"Krow..." Zaki memanggil lembut, mencoba meraih tangan Krow sekali lagi.
Krow menepis tangan Zaki pelan, menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Gue nggak bisa, Jak. Gue nggak bisa ngelangkah lebih jauh dari sini. Kita... kita terlalu baik sebagai teman."
Zaki menunduk, wajahnya terbenam dalam bayang-bayang kesedihan. "Kalau gitu... gue cuma bisa berharap, waktu bisa merubah semuanya. Gue nggak bisa paksain perasaan gue, Krow. Gue cuma ingin lu tahu, gue serius sama lu."
Krow merasakan hatinya tertekan. Ia merasa tidak enak, seolah ia sedang menolak bagian dari dirinya yang sebenarnya ingin ia terima. Namun, saat Zaki berbalik dan berjalan menjauh, Krow tahu ia telah membuat keputusan, meski itu sulit diterima.
Selama beberapa hari berikutnya, Krow mencoba kembali menjalani rutinitasnya, namun hatinya terasa kosong. Ia menghindari Zaki, meskipun di dalam hati, ia tahu itu bukan yang benar. Setiap kali mereka bertemu di asrama atau di sekolah, suasana menjadi canggung. Zaki terlihat seperti mencoba memberi ruang, meskipun mata mereka sering bertemu dalam diam, penuh rasa sakit yang tak terucapkan.
Riji dan Garin pun semakin curiga. Mereka melihat perubahan sikap Krow, yang kini lebih sering mengurung diri di kamar, enggan berbicara panjang lebar. Mereka tahu ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi tidak tahu apa.
"Siapa yang tahu, Krow mungkin emang takut jatuh cinta," kata Riji suatu malam saat mereka sedang duduk bersama.
Garin mengangguk, meskipun dia tidak sepenuhnya yakin. "Tapi kalau dia terus begini, dia bakal kehilangan Zaki, kan? Teman bisa jadi lebih dari sekadar teman."
Riji mengernyit, lalu menatap Krow yang sedang duduk di meja belajar. "Mungkin, tapi itu urusan mereka. Kita cuma bisa nunggu mereka sadar sendiri."
Krow menunduk, matanya kembali terfokus pada layar ponselnya, tapi pikirannya melayang jauh, pada Zaki dan perasaan yang semakin sulit untuk dijelaskan.
---
Dengan keraguan yang semakin besar, Krow terus terjebak di dalam zona ini, sebuah tempat yang tidak jelas apakah ia akan bisa keluar dari sana, atau tetap tinggal di dalamnya, terperangkap di antara perasaan yang tak terucapkan dan ketakutan yang semakin mencekam.
..
1 hari, 2 chap?
🤫🤫VOTE KALAU KALIAN GA VOTE, AKU MLS PUBLISH/UPDATE
KAMU SEDANG MEMBACA
FriendZone [REALLY SLOW UP!]
Short StoryFull revisi! typo bertebaran Homophobic jgn kesini. Jakikrow