"Mph... mph...!"
Seorang laki-laki berusia 23 tahun dengan kaus abu-abu usang-duduk di atas kursi yang terbuat dari material kayu dengan kondisi kedua kaki terikat kuat menyatu di masing-masing kaki kursi, kedua tangannya pun diikat tidak kalah kuat di belakang punggung kursi hingga membuat ia sama sekali tidak bisa bergerak.
Mulutnya tersumpal kain hingga membuat suara teriakannya teredam. Bahkan untuk sekedar bersuara saja ia tidak diberikan kebebasan. Rambutnya sudah acak-acakan tidak karuan lantaran beberapa kali ia menerima jambakan, wajahnya kusam dan penuh memar akibat dipukuli berkali-kali. Darah merah segar mengalir dari keningnya hingga menuju pipi.
Ruangan tempat dia disekap lantai dan atapnya terbuat dari kayu, ukurannya minimalis, dan saat ia menoleh ia mendapati kanan-kirinya disesaki oleh banyak kardus-ia sendiri pun tidak tahu apa isinya, yang pasti semua benda di sekililingnya saat ini terlihat berdebu dan usang.
Bau udara bercampur dengan debu yang masuk ke indra penciuman membuat paru-paunya tergelitik hingga ia terbatuk beberapa kali. Ia menduga sepertinya saat ini dirinya sedang berada di sebuah gudang. Di dalam ruangan ini hanya ada satu cahaya berwarna kuning dari lampu bohlam mungil di tengah-tengah atap ruangan. Cahaya dari lampu bohlam tersebut tidak cukup untuk menyinari seluruh ruangan sehingga kesan yang timbul adalah remang-remang.
Sesak. Beberapa kali ia membusungkan dada untuk menghirup pasokan oksigen supaya bisa mengalir lebih banyak ke dalam tubuh. Pengap. Hawa di ruangan ini terasa sangat pengap.
Sebagian anak rambut yang menutupi keningnya sampai basah oleh keringat, pun dengan kaus abu-abu yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap akibat terkena rembesan keringat. Belum cukup tubuhnya diikat, ruangan tempat dia disekap juga semakin menambah penderitaannya.
Matanya berkaca-kaca menahan kekecewaan sekaligus amarah. Berulang kali ia berteriak untuk meminta tolong, namun tidak ada yang mendengar karena mulutnya dibebat kain hitam dengan kuat. Saat ini sekujur tubuhnya terasa sakit dan perih sampai tidak dapat digerakan.
"Mppph! Mppph!"
Ia terus memberontak-mencoba berbagai cara untuk bisa terlepas dari jeratan tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya.
Waktu terus berlalu.
Dua jam.
Tiga jam.
Lelah karena tidak ada yang kunjung membantu-memberontak pun percuma karena tenaganya sudah terkuras habis. Kini dia hanya bisa menunduk lemah dengan posisinya yang masih sama seperti sebelumnya yaitu tangan dan kaki terikat kuat oleh tali di kursi.
Bahkan untuk sekedar menidurkan diri dengan benar saja tidak mampu untuk dia lakukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit karena luka dan lebam akibat pukulan yang sebelumnya ia terima, ditambah lagi ikatan di tubuhnya yang sudah berjam-jam hingga membuat tulang-tulangnya terasa remuk.
Kesunyian terpecah ketika di telinganya terdengar jelas sebuah suara decitan pintu terbuka akibat engsel pintu yang sudah karatan. Ia langsung menegakkan kepala dan mencoba untuk menoleh-ada harapan besar seseorang yang datang itu akan menyelematkannya.
Derap langkah dari sepasang sepatu bot terdengar mendekat.
Satu langkah.
Dua langkah.
Ia mendongak ketika pria paruh baya berpakaian serba hitam melangkah ke arahnya. Harapan dalam dirinya bahwa sebentar lagi ia akan terlepas dari ikatan seketika sirna saat mengetahui siapa seseorang yang datang. Orang itulah yang sudah memukulinya.
Pria tersebut berhenti di sampingnya, kemudian mencondongkan badan. Sebuah senyuman smirk terbit di bibirnya.
"Halo... Laut Makrib." Bisiknya di telinga Laut.
LAUT MAKRIB. Laki-laki berusia 23 tahun berkaus abu-abu yang kedua kaki dan tangannya terikat di kursi itu adalah Laut Makrib.
Laut menatap tajam laki-laki paruh baya di depannya. "Mrrrhh!"
Kain yang menyumpal mulut Laut basah terkena air liurnya sendiri. Ia memberotak dari tali tambang jenis goni yang mengikatnya dengan kuat di kursi. Namun, semakin Laut
memberontak, tali tersebut justru semakin mengikatnya dengan kuat hingga permukaan tali yang kasar berhasil menggores kulit Laut dan menimbulkan rasa perih."Mau bicara?" Pria tersebut berjongkok di hadapan Laut yang duduk terikat di kursi.
Laut terus memberontak dengan mulut yang masih dibebat kain hitam.
"Mrrrhh!"
"Bicaralah sebelum mulutmu aku bungkam selamanya."
Intonasi pria tersebut terdengar datar, namun sorot mata ketika mengatakannya sangat tajam dan sarat akan ancaman. Pria tersebut melepaskan kain pengikat yang menyumpal mulut Laut supaya Laut dapat berbicara.
"BAJINGAN KALIAN!" Sentak Laut dengan menggebu-gebu. Dadanya naik turun lantaran emosi.
Pria di hadapan Laut tertawa-kemudian ekspresinya mendadak berubah begitu cepat.
Tawanya terhenti, beralih menjadi tatapan tajam penuh amarah. Tanpa belas kasih dia menendang keras kursi yang di duduki Laut hingga menimbulkan suara debrakan cukup nyaring. Kursi tersebut langsung terjatuh bersama Laut yang terikat di atasnya. Pria itu lalu menginjak-injak tubuh Laut secara membabi buta. Laut hanya bisa terus menerus merintih ketika tubuhnya yang masih terikat di atas kursi dihujami oleh tendangan dan injakan bertubi-tubi.
---000---
Kalian tau cerita ini dari mana?
Mau lanjut?
Jangan lupa follow dulu Caaay_
KAMU SEDANG MEMBACA
Buih Tanpa Lautan
RomancePalung Megananta menjadikan ikatan pernikahan dengan Buih Pitaloka sebagai trophy atas kemenangannya dari Laut Makrib. Namun, obsesi tersebut menghadapkan Palung pada badai besar yang tidak pernah dia bayangkan. Laut Makrib bangkit menjadi sosok Orc...