o0:0o - [Awal dari Kisah]

7 2 0
                                    

Rintik hujan turun membasahi tubuhku yang tergeletak di aspal dengan darah yang bercucuran, terutama pada bagian belakang kepalaku, rasanya berdenyut sangat nyeri seperti gas yang hendak meledak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rintik hujan turun membasahi tubuhku yang tergeletak di aspal dengan darah yang bercucuran, terutama pada bagian belakang kepalaku, rasanya berdenyut sangat nyeri seperti gas yang hendak meledak.

Mataku beberapa kali mengerjap, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar, saat air langit secara beruntun menimpa tubuhku yang lemah kesakitan.

Drtt.. Drtt..

Aku berusaha menggapai ponselku yang bergetar dengan dering menenangkan di tengah hujan, ponsel itu tergeletak tak jauh dari tubuhku. Setelah berhasil menggapainya, aku melihat nama ayahku terpampang samar di sana.

Tanganku ingin menekan tombol hijau, tetapi air hujan yang turun membuatku sedikit kesulitan. Bisa kupastikan jika ayah meneleponku saat ini pasti karena anak bungsunya itu mengadu aku tak kunjung datang menjemputnya.

“H-alo, Yah?” ucapku saat telepon itu akhirnya bisa aku angkat. Tangan ini sedikit bergetar dengan suara terbata menahan rasa sakit di kepala.

“Di mana kamu?!” Tuhkan, Ayah pasti marah-marah. “Saya suruh kamu untuk jemput Adnan, kenapa belum sampai juga? Bisa-bisanya kamu biarin anak saya kehujanan!”

Aku memejamkan mata, mencoba tenang dengan menggigit bibir. “A-ku ke-cela-ka-an, Ya-h.”

“Ah, alasan!” Ayah tidak percaya dan tidak ingin peduli. “Paling cuma kecelakaan kecil, doang. Udah gak usah jemput Adnan. Dia sudah dijemput oleh saya! Dan kamu jangan pulang ke rumah!”

Telepon itu lalu ditutup. Aku bersusah-payah menelan ludah yang tersekat di ujung tenggorokan. Seperti itulah ayahku, yang tak pernah khawatir terhadap kondisiku. Selalu bersikap berbeda padaku dan anak-anaknya yang lain.

Dia membenciku hanya karena aku lahir dari wanita yang tidak dia cintai, yang dia hamili hanya untuk memanfaatkan harta kekayaan ibuku. Merebut semua yang seharusnya aku dan ibu miliki, yang kini telah menjadi milik ayahku seutuhnya hingga seluruh keturunannya, terkecuali aku.

Ya, sepersen pun aku tidak akan pernah bisa mendapatkan itu, meski bukan itu yang aku mau.

“ARRRRGGGHHHHHHH!”

Aku berteriak seraya melempar ponselku ke sembarang arah. Aku marah, aku sedih, aku kecewa, setiap kali ayah bersikap tak adil padaku.

Kenapa hanya aku? Kenapa harus aku? Dan kenapa selalu aku yang dituntut sempurna, tetapi tidak pernah mendapatkan apresiasi apapun darinya seperti anak-anaknya yang lain.

Aku berusaha bangkit sembari menahan sakit, tak ada orang yang menolongku di sini, jalanannya sepi, mungkin efek hujan atau memang sudah direncanakan untuk tidak menolongku yang terjatuh karena kecelakaan?

Ah, sepertinya memang aku yang salah jalan. Biarlah aku mandiri untuk pergi ke rumah sakit menggunakan motorku ini.

Saat motorku melaju, kepalaku kembali terasa berdenyut, lantas aku memegangnya untuk menahan darahku yang terus-terusan mengalir.

Mataku buram, semuanya tidak terlihat, bahkan gelap, hingga suara decitan nyaring membuatku sadar bahwa kini aku sudah kembali tergeletak di aspal. Seluruh tubuhku penuh luka dan orang-orang mulai menghampiriku dengan wajah panik. Terutama salah seorang pria di hadapanku.

Aku mengenalnya.

“A-yah?” panggilku.

Ya, Dia Mizan, ayahku.

Lantas akupun tersenyum getir padanya sembari berkata, “Aku-bisa-sendiri.”

Itukan yang dia inginkan? Aku harus mandiri, jangan manja, dan kalian lihat? Aku menolak bantuannya yang hendak menggendongku masuk ke dalam mobil. “Gak... u-sah, Yah. Aku bi-sa sen-diri.”

“Ayah minta maaf, Dim,” ucap Ayahku, ia memeluk erat tubuhku yang bercucuran darah. Suaranya terdengar sedih dan menyalahkan takdir.

Saat mata kami bertemu, di antara matanya yang berlinang aku melihat kaset masa laluku terputar di sana.

Enggan aku mengingatnya, tapi seketika penglihatanku mulai gelap, dan saat aku kembali membukanya, aku sudah berada di rumah dalam keadaan sehat. Namun, ujung mataku melihat seorang anak kecil yang sedang menangis ketakutan di sudut rumah. Saat aku mendekat, anak kecil itu menoleh, membuatku terdiam saat melihat wajahnya, yang ternyata itu adalah aku.

Aku kecil tersenyum pada diriku yang sekarang.

“Kamu gak papa, 'kan?” kata anak kecil itu.

Aku mengangguk, sedetik kemudian tubuhku terjatuh dengan mata yang terpejam tidur.

Di sinilah kisah ini dimulai dengan rasa sakit yang aku rasakan dari orang yang aku sayang, Ayah.

———

Ohayou, terimakasih sudah membaca cerita tidak bermutu ini. Tolong ikuti terus kisahnya, ya!

Kita harus kupas tuntas kisah Dimhas😀
Lopyu all, salam sayang, Z. ^3^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

"Ayah, bisakah aku hidup lebih lama?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang