Suasana rumah malam ini terasa lebih hening dari biasanya. Winter duduk di ruang tamu, menatap meja kecil di depannya dengan gelisah.
Ayahnya, Pak Sehun duduk di seberang, mengenakan kemeja santai dengan kacamata baca tergantung di lehernya. Ia baru saja selesai membaca dokumen kantor dan menatap putrinya dengan dahi berkerut, menyadari ada sesuatu yang ingin disampaikan.
"Kamu kenapa, Nak? Dari tadi diem aja?" tanya Pak Sehun tenang, tapi matanya tajam, penuh perhatian.
Menarik napas, tangan Winter meremas celana training yang ia kenakan. Perasaannya campur aduk, antara takut dan berusaha menguatkan diri.
Akhirnya, Winter mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan mata penuh keberanian yang dipaksakan.
"Ayah." lirih Winter. "Aku... aku mau ngomong sesuatu."
Pak Sehun mengangguk pelan, memberi isyarat agar Winter melanjutkan.
"Mau ngomong apa, sayang?"
Meneguk ludah, Winter menggenggam tangannya di atas meja untuk menenangkan diri.
"Aku... aku suka sama seseorang." akunya.
Pak Sehun mengerutkan alisnya, lalu tersenyum tipis.
"Oh? Berarti bagus dong. Siapa anak laki-laki yang beruntung itu?"
Pertanyaan itu membuat Winter semakin gugup. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Bukan, Yah..." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lirih. "Dia... cewek."
Pak Sehun terdiam. Senyum di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi bingung dan sedikit kaget. Ia tidak langsung merespons, hanya menatap putrinya yang kini terlihat semakin cemas.
"Cewek?" ulang Pak Sehun.
Winter mengangguk, matanya menatap ayahnya dengan ketakutan. "Namanya Karina. Dia... dia temen sekolah aku. Aku gatau gimana ceritanya, tapi aku suka sama dia, Yah. Suka banget. Dia cewek yang aku ceritain tempo lalu."
Ruangan itu terasa semakin sunyi. Pak Sehun bersandar di kursinya, tangannya menyentuh kacamata baca di lehernya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Hatinya bercampur aduk. Ada rasa kecewa, bingung, tapi juga rasa ingin memahami.
"Jadi... kamu suka sama cewek?" tanyanya lagi, memastikan.
"Iya." jawab Winter tegas. "Aku tau ini mungkin ga sesuai sama yang Ayah harapkan. Tapi... aku nggak bisa bohongin diri aku sendiri. Dia bikin aku bahagia."
Pak Sehun menghela napas, menunduk untuk berpikir. Sebagai orang tua, ia selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun, ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.
"Winter..." Pak Sehun angkat bicara, suaranya terdengar berat. "Ayah ga bakal bohong. Ayah... cukup kecewa. Ini bukan hal yang mudah buat Ayah terima."
Kata-kata itu memang terasa menyakitkan, tapi Winter sudah menduganya.
"Tapi..." lanjut Pak Sehun, membuat Winter mendongak lagi. "Ayah juga gamau bikin kamu menderita. Kalau dia bikin kamu bahagia... kalau perasaan kamu ke dia tulus... Ayah cuma bisa berusaha ikhlas."
Winter tertegun, matanya mulai berkaca-kaca.
"Jadi... Ayah gak marah?"
Pak Sehun tersenyum kecil, meski senyumnya terasa getir. "Marah? gak, Nak. Ayah cuma... butuh waktu buat terbiasa. Tapi Ayah janji, Ayah akan tetap dukung kamu. Karena kebahagiaan kamu lebih penting buat Ayah."
Winter tidak bisa menahan air matanya. Ia berdiri, berjalan mendekati ayahnya, lalu memeluknya erat.
"Makasih, Yah. Makasih udah mau ngertiin aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
She Not Boy [END]
Fiksi PenggemarDemi ambisinya pada baseball, Winter Astawijaya terpaksa nekat menyamar sebagai laki-laki agar bisa masuk ke tim baseball di sekolah barunya. Menyamar bukanlah hal yang mudah, apalagi saat Karina Valeria, siswi populer dan kapten tim pemandu sorak m...