Yogyakarta, 2020 Pagi itu, cahaya mentari merambat pelan di sela-sela tirai dapur keluarga kecil Militha. Udara dingin sisa embun malam masih terasa menusuk kulit, namun kehangatan di meja makan itu mampu mengusir segala dingin yang tersisa. Aroma cokelat dari roti tawar yang tengah diolesi sang mama berpadu dengan wangi bubur ayam hangat buatan tangan penuh cinta. Di sudut meja, suara sendok bertemu mangkuk terdengar ritmis, diselingi tawa lembut papa yang terus memuji hasil masakan istrinya.
"Memang paling enak ya, masakan mamamu ini, Lit," ucap papa, logat Jawa-nya yang kental menambahkan kesan hangat pada pagi itu. Militha hanya tersenyum simpul, matanya sesekali melirik papa yang begitu menikmati sarapannya. Mama, dengan kesabaran seorang ibu, menyuguhkan secangkir susu hangat ke hadapan Militha. Tangannya yang lembut mengelus kepala putri satu-satunya itu, membelai rambutnya dengan penuh kasih.
"Sudah siap buat hari pertama kuliahnya?" tanyanya dengan nada lembut, senyum manisnya terpancar penuh kebanggaan. "Iyo, pasti sudah siap, anak papa ini kan calon psikolog hebat," tambah papa sambil menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya, matanya memandang Militha dengan penuh keyakinan. Militha menunduk malu-malu, rona merah merekah di pipinya. Kebahagiaan terpancar dari senyumnya, perasaan hangat memenuhi dadanya melihat dukungan orang tuanya yang begitu besar. Hari itu adalah awal perjalanan baru baginya, kuliah di jurusan Psikologi—impian yang sudah lama ia rajut sejak bangku SMA.
Setelah sarapan selesai, Militha bergegas. Ia memasang sepatu sneakers favoritnya, mengambil kunci mobil, dan memeriksa barang-barang di dalam tasnya untuk memastikan semuanya siap. Meski menjadi anak tunggal, Militha bukanlah tipe yang manja. Kepribadiannya yang mandiri sudah terlihat sejak kecil, ditambah pembawaannya yang tegas dan lugas. Penampilannya tak terlalu feminin, dengan rambut pendek sebahu dan pakaian kasual sederhana, namun auranya tetap memancarkan keanggunan seorang wanita kuat.
Saat hendak berangkat, mama menghentikannya sejenak. Dari balik saku apron-nya, mama mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru. "Ini hadiah untukmu, Nak," kata mama sambil membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk salib kecil yang anggun. "Mama pasangkan ya," lanjut mama sambil mendekat. Kalung itu melingkar di leher Militha dengan sempurna, menyatu dengan dirinya seolah memang ditakdirkan menjadi miliknya. "Anak mama yang cantik, semangat ya kuliahnya. Mama selalu mendukung apa pun yang kamu lakukan," ucap mama penuh haru, sebelum mengecup kening putrinya dengan lembut. Militha menatap mama dengan mata berkaca-kaca. Ia membalas dengan mencium pipi mama dan beralih untuk bersalaman dengan papa. "Semangat, yo, Lit. Jangan lali mangan nek kowe sibuk di kampus," pesan papa sambil menggenggam erat tangan Militha.
Sambil mengucapkan salam perpisahan, Militha melangkah ke garasi, di mana mobil kesayangannya, BMW tua tipe E36, sudah menunggunya. Mobil itu, hadiah dari papa saat ia naik ke kelas 12, menjadi simbol kenangan dan cinta dalam keluarga mereka. Meski usianya tak muda lagi, Militha mencintai mobil itu seperti seorang sahabat. Setiap lekuk bodinya, suara mesinnya yang khas, dan aroma khas interiornya menghadirkan rasa nostalgia yang tak tergantikan. Perjalanan ke kampus berlangsung lancar. Jalan-jalan di Yogyakarta pagi itu mulai ramai, namun tetap terasa damai. Rumah-rumah dengan arsitektur tradisional bergantian menghiasi pemandangan, sementara sinar matahari semakin menghangatkan suasana. Di radio mobil, sebuah lagu dari grub band realityclub berjudul 'anything you want' mengalun lembut, menambah kesan tenang di sepanjang perjalanan.
Hanya dalam waktu 15 menit, Militha tiba di kampus barunya. Ia memarkir mobilnya dengan rapi di area yang sudah ditentukan. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mengamati dirinya di cermin spion. Ada sedikit keraguan di hatinya, namun senyum tipis di wajahnya membuktikan bahwa ia siap untuk menghadapi hari ini. Lapangan kampus dipenuhi oleh mahasiswa baru. Suasana ramai bercampur antusias menyelimuti area itu. Beberapa kelompok mahasiswa tampak saling bercanda, beberapa lainnya terlihat gugup seperti dirinya. Dengan langkah mantap, Militha bergabung ke dalam barisan, memulai lembaran baru yang akan membawanya menuju impian besar yang telah ia perjuangkan selama ini. Di dalam hatinya, ia mengulang pesan mamanya: Mama selalu mendukungmu. Kalimat itu menjadi mantra yang membakar semangatnya, menyuntikkan keberanian di setiap langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA MILITHA
RomanceMilitha melangkah dengan hati yang tak menentu, Di kepalanya, bayangan seorang pria terus memburu. Afif, sosok asing yang hadir tiba-tiba, Mengusik hari-harinya, membuatnya bertanya. Ia tahu, perasaan ini tak biasa, Ada debar yang terus membuncah ta...