“Kak Evander!” seruku dengan suara nyaris tercekat.
Perasaanku campur aduk tak keruan rasanya, itu karena tampak seolah sudah lama aku berpisah dengan Evander, atau dengan keluargaku yang lain, sehingga setelah sekian lama aku akhirnya kembali melihat seseorang yang aku harapkan untuk bertemu, dadaku rasanya bagai bisa meledak kapan saja oleh berbagai macam perasaan ini.
Kedua mataku terasa panas, tetapi aku menahan sesuatu yang akan menetes dari sana. Sesungguhnya, melihat Evander membuatku merasa lega, seolah segala kegelisahan yang selama ini mengerumuni aku tanpa ampun, akhirnya menghilang, bagai Evander dengan jubah penyihirnya yang lebar itu, mampu melindungiku dari segala hal yang membuatku merasa takut.
Aku secara insting hendak menghampiri Evander, tetapi hal itu gagal ketika baru saja kusadari bahwa Cain masih saja mencengkeram tubuhku dengan erat. Dia memelukku sama seperti sebelumnya, tetapi bahkan lebih erat dibandingkan sebelumnya. Bisa kurasakan tatapan bengis Cain yang ditujukannya terhadap Evander yang berada tak jauh di hadapan kami.
Cain lalu menekan kepalaku, mencegahku melihat ke arah Evander. Perlahan, aku merasa bahwa Cain mengambil langkah mundur, menjaga jarak dari Evander. Namun, bisa kudengar pula jejak kaki Evander yang maju perlahan, suaranya pun bergema,
“Arthe, kemarilah,” kata Evander, sambil terus maju perlahan.
Bunyi yang tersisa dari langkah kaki yang menginjak rerumputan lembap di atas tanah bergema, apalagi ketika malam sunyi, hanya menuturkan irama dari serangga malam sesekali.
“Kak Cain, lepaskan aku,” ujarku memohon. Kucengkeram pakaian Cain dan menatap matanya.
Di saat yang sama, netra merah Cain bersitatap dengan milikku. Di sana, aku terpaku sejenak.
Cain yang aku kenali adalah orang yang jahat. Walaupun dia adalah pemeran pria kedua di dalam gim The Queen of Rose, tetapi dia hanya memiliki jejak kelembutan terhadap Charlotte. Di matanya, selain kekasih hatinya itu, mereka tak layak mendapatkan celah kecil kelembutan Cain. Di matanya, selain kekasih hatinya itu, semua orang yang jatuh padanya hanya akan jatuh-sejatuhnya sampai mereka terluka, sebab segala kasih sayang dan kehangatan yang terpancar dalam netranya itu, hanya dipancarkan untuk Charlotte.
Namun, mengapa bisa kurasakan kelembutan mendalam di balik tatapnya padaku? Ada perasaan sesal yang tak dapat diukur pun digambarkan berapa besarnya, ada perasaan gundah yang terlihat jelas bahkan apabila aku tak menelisiknya dalam. Kegelisahan dan kekhawatiran, perasaan kecewa dan kesedihan, segalanya tercampur aduk menjadi satu hanya dalam sebuah tatapan penuh kasih yang dia berikan padaku.
Akan tetapi, sebelum tiba rasa kasih sayang di matanya, ada perasaan meragu sepintas dalam penyampaian rasa kasih sayang itu yang bisa kutangkap dengan jelas.
“Tidak,” balas Cain, mengalihkan tatapannya pada Evander, dan menjawab dengan tegas. Dia kembali menekan kepalaku hingga aku bersembunyi di bahunya. “Arthe adalah adikku, dia milikku.”
Bisa kudengar dengusan halus Evander bergema, dilanjut dengan kekehan renyah. “Apa maksudmu, Tuan Muda Cain? Arthe bukanlah milikmu, dia bukanlah milik siapa pun, tak ada hak bagimu untuk menyatakan kepemilikan sepihak. Itu kejahatan.”
“Pada kenyataannya pun, Arthe adalah adikku. Dia masih memiliki hubungan darah denganku. Jadi, jangan mengakui Arthe seolah dia tak memiliki ikatan apa pun denganku!”
“Dasar anak yang keras kepala. Apa yang kalian semua lakukan pada Arthe, adalah kejahatan! Kalian menculiknya, menguncinya, menyiksa, dan menganiayanya! Arthe masih anak-anak, betapa teganya kalian melakukan hal keji pada seorang anak yang bahkan baru berusia sepuluh tahun!”

KAMU SEDANG MEMBACA
END | Anak Buangan Duke [TERBIT]
Fantasy[Brothership story!] [Sudah diterbitkan di Universe Publisher] "Padahal hanya anak buangan, tapi kamu seolah memiliki kuasa seperti seorang raja!" Kalimat itu ditujukan pada Arthevian Montrose menjelang ajalnya. Tak ada yang lebih buruk daripada dip...