Jakarta, 22 Februari 2002Hujan turun deras di malam itu, membasahi jalanan kota yang lengang. Kilatan petir sesekali menyambar, menerangi wajah tegang Arjuna Naksala yang berdiri di lorong rumah sakit. Ia menatap lurus ke arah pintu ruang bersalin, kedua tangannya mengepal hingga kuku-kuku jarinya memutih. Di balik pintu itu, istrinya, Renata Anindhya, sedang melahirkan. Namun, tidak ada perasaan bahagia di hati Arjuna, tidak ada debaran penuh harap yang biasanya dirasakan seorang suami ketika menunggu kelahiran anaknya. Sebaliknya, hatinya dipenuhi oleh kegelapan, amarah, penghinaan, dan rasa sakit yang tak tertahankan.
Arjuna mengingat kembali hari di mana semuanya berubah. Hari ketika Renata, dengan wajah penuh air mata, mengakui dosa yang telah menghancurkan pernikahan mereka. Bayi yang ada di dalam kandungannya bukan darah daging Arjuna. Ia adalah anak dari pria lain—hasil dari perselingkuhan yang selama ini Renata sembunyikan. Kata-kata pengakuannya terus terngiang di kepala Arjuna seperti pukulan bertubi-tubi.
“Mas, aku tahu aku salah... tapi aku mohon, beri aku kesempatan. Anak ini... anak ini tidak bersalah,” suara Renata saat itu penuh kepasrahan, namun bagi Arjuna, kalimat itu hanya menambah luka.
Dan kini, di malam kelahiran anak itu, semua rasa sakit kembali menyeruak. Pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang Dokter keluar dengan wajah cerah. “Pak Arjuna, selamat. Anak Anda laki-laki,” ucapnya dengan penuh semangat, tidak menyadari kenyataan pahit yang melingkupi keluarga ini.
Arjuna tidak langsung masuk. Ia berdiri di sana, memejamkan mata, mencoba mengendalikan emosi yang membuncah. Setelah beberapa saat, dengan langkah berat, ia memasuki ruangan.
Di atas ranjang, Renata terbaring lemah dengan wajah pucat. Di pelukannya, seorang bayi kecil menangis nyaring. Wajah Renata bercampur antara kebahagiaan dan ketakutan. Air matanya mengalir saat ia melihat Arjuna mendekat.
“Mas...” Renata berbisik, suaranya hampir tak terdengar.
Arjuna berhenti beberapa langkah dari ranjang. Tatapannya tajam, penuh kebencian yang ia coba kendalikan. Ia menatap bayi itu, lalu Renata. “Dia bukan anakku” katanya dingin, nada suaranya lebih tajam daripada kilat di luar. “Anak yang kuinginkan kehadirannya ternyata bukan darah dagingku”
Renata menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. “Mas, aku tahu aku salah. Tapi... bayi ini tidak bersalah. Dia butuh kita. Dia butuh ayah,” katanya memohon.
Arjuna tertawa kecil, tawa yang getir dan penuh sarkasme. “Ayah? Aku? Jangan bercanda, Renata. Dia tidak punya ayah di sini. Dia hanya anak dari pengkhianatanmu, simbol dari dosa yang kau bawa ke dalam rumah ini.”
Bayi itu menangis semakin keras, seolah-olah merasakan ketegangan di antara kedua orang dewasa itu. Renata memeluk bayi itu erat-erat, air matanya bercucuran. Ia tahu Arjuna terluka, tetapi ia berharap, dengan waktu, pria itu bisa membuka hatinya.
Namun, Arjuna tidak memberi ruang untuk harapan. Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Renata dan bayi itu di ruangan yang kini terasa dingin meski penuh cahaya. Di luar, hujan terus mengguyur, derasnya seperti cerminan dari badai yang menghantam keluarga mereka.
Malam itu adalah awal dari kehidupan yang penuh dengan luka. Bayi yang tak berdosa itu, meskipun telah lahir ke dunia, akan menghadapi kenyataan pahit: ia adalah anak yang tidak diinginkan oleh pria yang seharusnya menjadi ayahnya. Dan bagi Renata, perjuangan baru saja dimulai, perjuangan untuk membesarkan anaknya di tengah kebencian dan ketidakpastian.
Langit masih menangis, sama seperti hati seorang pria yang tidak bisa menerima, seorang wanita yang diliputi rasa bersalah, dan seorang anak yang kelahirannya menjadi simbol dari penghianatan terbesar dalam hidup mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAN TERAKHIR (Untuk Papa dan Mama)
General FictionFOLLOW DULUU DONGG SEBELUM BACAAA Tentang dia, Sadipta Harsa Revandra yang tak pernah diterima oleh ayahnya dan ibunya yang mengalami tempramental 5 tahun setelah ia lahir, Sadipta tumbuh dengan luka yang tak pernah sembuh. Luka yang ditinggalkan o...