Hadiah Kecil

5 3 0
                                    

Jakarta, 13 Februari 2012

Sadipta Harsa Revandra anak yang tak dianggap dan selalu mendapat luka setiap harinya, ia menatap kalender di dinding kamarnya. 10 hari lagi adalah ulang tahunnya yang ke-sepuluh. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia tahu harapannya untuk perayaan sederhana mungkin hanya tinggal angan.

Namun, kali ini ia ingin mencoba. Ia ingin meminta sesuatu, meski kecil, sebagai tanda bahwa ia tidak sepenuhnya dilupakan. Pagi itu, dengan keberanian yang dikumpulkan, ia mendekati ayahnya, Arjuna, yang sedang duduk di ruang tamu membaca koran.

"Pa," panggil Sadipta pelan, mencoba menarik perhatian ayahnya.

"Hm?" Arjuna menjawab tanpa menurunkan korannya.

"Sepuluh hari lagi hari ulang tahunku," kata Sadipta dengan suara lirih. "Aku tidak minta banyak. Bolehkan aku meminta hadiah kecil? Mungkin sebuah pelukan papa?"

Arjuna menurunkan korannya perlahan, menatap Sadipta dengan wajah dingin. "Ulang tahun, ya?" katanya, suaranya rendah namun tegas. "Papa gak ada waktu untuk hal tak penting seperti itu. Kau sudah cukup makan, bukan? Itu saja sudah lebih dari cukup."

"Tapi... aku hanya ingin pelukan hangat papa," bisik Sadipta, mencoba bertahan meski hatinya mulai terasa berat.

Raut wajah Arjuna berubah, dari dingin menjadi marah. Ia bangkit dari kursinya, mengayunkan tangan ke arah Sadipta. Tamparan itu mendarat keras di pipi anak itu, membuatnya terhuyung ke belakang dan terjatuh.

"Berhenti merengek seperti anak manja, Sadipta! Jangan meminta hal bodoh seperti apa yang kau inginkan tadi, minta peluk ibumu saja aku tak sudi memeluk anak haram sepertimu!" bentak Arjuna, suaranya menggema di ruangan yang hening. "Anak pembawa sial sepertimu tidak pantas mendapatkannya dariku", bisik Arjuna tepat di samping telinga Sadipta

Sadipta memegang pipinya yang panas dan memerah. Air mata menggenang di matanya, tapi ia tidak menangis. Yang lebih menyakitkan adalah ucapan ayahnya yang menyebut dia anak haram dan pembawa sial. Pantaskah seorang ayah mengucapkan hal keji seperti itu kepada anaknya?

Tidak lama kemudian, Renata, ibunya, datang dari arah dapur dan menghampiri Sadipta dan suaminya. Wajahnya tampak kacau, dan ekspresi lelahnya berubah menjadi marah ketika melihat Sadipta duduk di lantai dengan wajah penuh kesedihan.

"Apa lagi yang kau lakukan sekarang, Sadipta?" serunya dengan nada tinggi. "Kenapa kau selalu membuat keributan di rumah ini?"

"Ma, aku hanya..." Sadipta mencoba menjelaskan, tapi suaranya tenggelam di bawah kemarahan ibunya.

"Diam! Kau selalu menjadi masalah. Aku sudah cukup stres tanpa harus mendengar keluhanmu setiap hari, dasar kau anak nakal!" Renata memukul Sadipta dengan sendok kayu yang dipegangnya lalu ia berbalik dan pergi, meninggalkan Sadipta dengan tubuh gemetar.

Hari itu, Sadipta mengunci diri di kamarnya. Ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat-erat. Pipinya masih terasa panas dan punggungnya yang terasa sakit akibat pukulan dari ibunya, tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih besar.

"Apakah aku terlalu nakal?," pikirnya. "Aku membuat Papa marah, dan aku membuat Mama semakin kesal. Semua ini salahku. Kalau saja aku tidak minta apa-apa..."

Di atas meja kecil di kamarnya, ada selembar kertas dan pensil. Dengan tangan gemetar, Sadipta mulai menggambar sebuah keluarga kecil yang terdiri seorang anak, dan kedua orang tuanya. Itu adalah cara dia membayangkan betapa bahagianya jika memiliki keluarga yang  cemara.

Malam itu, sebelum tidur, ia berbisik dalam hati "Tuhan, aku tidak perlu hadiah lagi. Aku hanya ingin Ayah dan Ibu bisa mencintaiku, meskipun sedikit."

Sadipta memejamkan matanya, berharap esok hari akan lebih baik. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa keinginannya untuk dicintai masih terasa jauh dari jangkauan.

PESAN TERAKHIR (Untuk Papa dan Mama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang