Hujan rintik, irama duka mengetuk kaca, mengiringi malam yang kelabu. Ofelia, di balik kabut kaca cermin, menatap bayang redupnya. Gaun putih, mahkota mimpi, kini bagai jerat yang menghimpit dada. Kenangan tawa, hangat pelukan orangtua, menusuk relung hati. Air mata membuncah, menyatu dengan hujan, meratap pilu nestapa.
Cahaya rembulan menembus jendela, menciptakan pola-pola aneh di dinding. Heintje duduk di kegelapan, siluetnya menjulang tinggi seperti bayangan raksasa. Matanya, dua buah permata hitam yang menyimpan sejuta rahasia kelam, menatap kosong ke arah lukisan. Lukisan itu bagaikan cermin yang memantulkan kejayaan masa lalu, namun kini hanya menyisakan kehampaan.
Sebuah senyum sinis mengembang di bibirnya, perlahan-lahan memenuhi wajahnya. Senyum itu bagai luka menganga yang tak kunjung sembuh, sebuah tanda bahwa hatinya telah mati. Ofelia, bunga yang tumbuh di atas kuburan, akan menjadi miliknya. Ia akan memetiknya dengan tangannya sendiri, lalu menghancurkannya. Malam ini, kegelapan akan menyelimuti dunia, dan cinta akan menjadi korbannya.
Dengan langkah angkuh, Heintje mendekati Ofelia, bagai bayangan maut yang menyelimuti bunga yang rapuh. Senyum sinisnya, setajam belati, merobek keheningan malam. Tatapannya, sebening es, menusuk ke dalam jiwa Ofelia. Tubuh mereka bersentuhan, bagai api dan es yang tak pernah bisa menyatu. "Kau takkan lepas dari genggamanku," bisiknya, suara serak bagai bisikan iblis. Ofelia, seperti burung yang terjebak dalam sangkar emas, meronta-ronta. "Lepaskan aku!" jeritannya memecah keheningan, namun suara hujan lebih lantang menyahut, seolah meratapi nasibnya yang malang. Heintje tertawa terbahak-bahak, "Mimpi apa yang kau miliki, gadis kecil?"
Cahaya lilin menari-nari di atas wajah pucat Ofelia, bagai kupu-kupu malam yang terjebak dalam sangkar kaca. Heintje, dengan senyum sinisnya, mengusap air mata yang membanjiri pipi mulus Ofelia. "Indah," gumamnya, suaranya lembut bagai belaiu ular yang mematikan. "Seperti bunga yang layu di tengah badai, kau semakin sempurna dalam kesedihanmu." Ofelia, bagai burung yang terluka, meronta-ronta. "Aku benci kau!" jeritannya memecah keheningan malam, namun hanya membentur dinding-dinding kosong. Intan permata kesedihannya berjatuhan, membasahi pipinya yang pucat, bagai hujan yang tak kunjung reda. Heintje tertawa mengejek, "Tangislah sepuasmu, bunga yang malang. Air matamu takkan pernah bisa memadamkan api kebencianku."
Tawa Heintje bagai belati yang merobek keheningan malam, menusuk relung hati Ofelia. Tangannya yang besar mencengkeram dagu halus Ofelia, bagai cakar elang yang mencengkram mangsanya. "Cinta tak bisa dipaksa," gumamnya, suaranya lembut namun sarat ancaman. "Tapi kepatuhan bisa." Matanya, dua butir batu hitam yang menyimpan kegelapan, menatap tajam ke dalam jiwa Ofelia. "Kau akan belajar mencintaiku, bahkan jika aku harus meremukkan jiwamu."
Ofelia meronta-ronta, tubuhnya membentur dinding bagai serangga yang dihantam palu. Heintje, dengan senyum sumbang, menempelkan wajahnya ke telinga Ofelia. "Kau takkan pernah lolos dari cengkeramanku, sayang," bisiknya, suaranya serak bagai gergaji yang membelah kayu. "Aku akan menghancurkanmu perlahan-lahan, sampai kau merengek memohon belas kasihan."
Di luar, badai mengamuk dengan dahsyatnya, seakan alam pun ikut merasakan kepedihan Ofelia. Angin menghempaskan hujan deras ke jendela, memburamkan pandangan. Guntur menggelegar, suara gemuruhnya menggema di dalam hati Ofelia. Namun, di dalam ruangan yang sunyi itu, hanya ada dua sosok yang terjebak dalam permainan kekejaman. Heintje, dengan tatapan mata yang tajam, berdiri di samping jendela, seakan ia adalah dewa yang mengatur nasib manusia. Sementara itu, Ofelia berbaring di atas ranjang yang empuk, matanya yang sembab itu terpejam erat setelah dimakan hidup-hidup oleh perasaan lelah. Setiap helaan napas adalah mantra yang menenangkan, mengusir segala rasa gelisah. Di atas ranjang, waktu seakan berhenti, dan hanya ada keheningan yang damai.
Detak jam bagai palu yang memukul jantung malam, memecah keheningan menjadi serpihan-serpihan ketakutan. Heintje, bayangan gelap yang menjulang, berdiri di sisi ranjang. Cahaya lilin menari-nari liar, menggambar bayang-bayang mengerikan di dinding, seakan menyaksikan ritual kelam. Jari-jari dinginnya membelai lembut helai rambut Ofelia yang tertidur lelap, sebuah sentuhan yang lebih menyerupai belai kematian.
Heintje tersenyum sinis, matanya menyala dengan api kebencian. Ia telah berhasil membuat Ofelia tunduk padanya, namun itu belum cukup. Ia ingin melihat Ofelia benar-benar hancur, putus asa, dan hanya bergantung padanya. Dalam benaknya, ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia akan membuat Ofelia mengalami penderitaan yang lebih besar lagi, agar ia semakin terikat padanya.
Apa yang Heintje akan lakukan pada Ofelia selanjutnya? Berdoa agar perasaan Heintje luluh, ya, guys. :)
-27 November 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sophrosyne
RomanceOrdelia: "Aku tidak mengerti kenapa kamu bisa menikah denganku. Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Heintje?" Calipso: "Tangisanmu, teriakanmu, dan melihat kesengsaraan mu." Ordelia: "Kau sangat brengsek!"