01. Jurnalis & Teror Telepon

11 4 18
                                    

Perhatian!

Fanfiction ini bersifat independen. Demi kepentingan cerita, kesamaan karakter fiksi dengan orang aslinya di dunia nyata hanya 50%. Sehingga, kamu tidak perlu mengenal totalitas seluruh member FLC untuk membaca fanfict ini, yeay!

Jadi, boleh banget promosi dan rekomendasikan fanfict ini kepada selain member FLC.

Ciao, hope you enjoy!

.

.

.

***

-What are you gonna do?-

***

Senin, 20 Januari 2024.

Langit senja tampak memudar, dari yang awalnya merah kekuningan kini dipermak dengan gradasi oranye dan ungu. Mentari yang tinggal seperempat menghasilkan cakrawala paripurna. Belum lagi pantulan kaca gedung-gedung tinggi, transportasi lalu lalang tanpa klakson, dan luminer jalan yang mulai menyala remang, membuat moment di depan mata semakin menakjubkan.

Tidak salah lagi, tempat nongkrong favorit ini memang juara.

Seorang wanita kuncir kuda, yang awalnya hanya ingin istirahat dan menyesap kopi sebelum pulang ke apartemen, kini mengangkat kameranya. Dia mengatur proporsi gambar yang menurutnya pas. Saat hendak menjepret, dia teringat,

'Kak Key tau shutter speed?'

Wanita itu menjeda niatnya sebentar, meletakkan disposable cup yang isinya tinggal sepertiga, lalu dia bangkit dari duduknya untuk mendekat ke tepi pagar.

'Di kamera handphone itu, ada yang namanya shutter speed. Fungsinya bisa buat kamera mengumpulkan lebih banyak cahaya biar hasil foto jadi maksimal.'

Kacamata yang bertengger di hidungnya dibetulkan sebelum dia kembali sibuk dengan kamera.

'Dalam kondisi minim cahaya, pada malam atau jelang malam hari misalnya, atur shutter speed Kak Key di kondisi lambat. Begini, nih ... nah, iya!'

Key mendapati cahaya kamera handphonenya mulai redup, sehingga dia menurunkannya, membiarkan sensor kamera menangkap lebih banyak cahaya.

"Satu per tiga puluh detik sepertinya cukup," gumamnya sambil menatap layar. Dia mencari komposisi yang tepat; sebagian badan flyover di kanan, pohon sebelah kiri, matahari yang nyaris tenggelam di tengah, pernak-pernik jalanan agak depan, dan siluet bangunan di kejauhan sebagai latar.

'Ditahan! Tangannya harus tetap stabil, karena dengan shutter speed rendah, sedikit getaran aja bisa buat gambar jadi buram.'

Key menelan napasnya, dia fokus menjaga tangannya tetap stabil. Saat semuanya terasa sangat pas, dia menekan tombol rana. Kamera membutuhkan waktu sepersekian detik lebih lama dari biasanya untuk menangkap gambar, dan Key menunggu dengan sabar. Hasilnya muncul di layar—warnanya kaya, siluetnya tajam, dan cahaya senja tampak seindah aslinya.

'Cantik, 'kan? Lain kali kalau Kak Key mau foto, jangan asal jepret! Semua ada tekniknya tau!'

Key tersenyum kecil. Ini bukan kamera profesional, hanya ponsel biasa, tetapi senja yang ditangkap dengan teknik tertentu terasa cukup untuk mengabadikan keindahan hari ini.

"Lagi kangen seseorang?" Suara bariton tiba-tiba menengahi aktivitasnya. Key tidak kaget, dia mengenali pemilik suara itu. Langkah pantofel samar terdengar mendekat, lantas berhenti tepat di sebelah Key, sosok pria tinggi berkacamata. "Kamu sering ke sini kalau lagi banyak pikiran. Berhubung pekan ini jadwalku yang padat, kurasa itu bukan tentang pekerjaan," paparnya. Senyum Key masih bertahan, masih ingin menyimak. "Jadi, mungkin kamu lagi kangen seseorang—adikmu, misalnya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 20 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kota Yang Tak Pernah TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang