Part I

85 8 1
                                    

-SK

Hidup itu terkadang lucu, bisa terombang ambing hanya dengan satu hal yang sepele, seperti news feed facebook. Rutinitas bodoh yang mengantarkan patah hatiku di pagi buta, adalah membuka akun facebook ku pertama kali setelah memencet alarm. Aku termangu pada layar handphoneku. Bagaimana rasanya ketika pria yang kau idolakan tiba-tiba memposting foto bersama satu orang wanita? Itu sudah cukup terdengar miris. Bagaimana jika aku tambahkan, mereka berdua berfoto dengan satu orang anak dipangkuannya?

Oke mungkin aku akan berfikir kalau anak itu mungkin keponakan wanitanya, jika saja wajahnya tidak mirip seperti lelakiku.

Lelakiku. Aku semakin terdengar menyedihkan.

Bang Faisal, anak rekan alm. Ayahku. Aku menyukainya sejak ia mengajariku membuat simpul tali sepatuku. Kami berteman dekat sejak kecil. Dia cinta pertamaku. Hanya saja ia memutuskan pindah ke Solo ketika ia mulai masuk SMA. Ketika itu aku masih kelas 4 SD, umur 10 tahun, umur yang terlalu muda untuk mengetahui kata patah hati. Kami masih sering berkomunikasi sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kabur. Dan aku kini mencuri kabarnya seperti seorang stalker.

Kali ini, 12 tahun kemudian, aku mengalami masa yang sama. Sayang nya kali ini aku sangat mengerti pedihnya patah hati.

Aku kembali melihat profil facebookku sendiri. Cipa, Anjingku yang mati 4 tahun lalu menyeringai seperti menertawakanku. Aku mendengus. Sorry Cipa, pada akhirnya akun facebookmu yang kugunakan secara ilegal ini mengkhianatiku juga. Aku kira ini adalah salah satu cara yang baik untuk latihan berinteraksi sosial meskipun secara gaib di dunia maya. Hanya saja aku harus tahu, jika foto profilmu anjing berpita merah dan menyeringai dengan lidah menjulur, aku seharusnya bersyukur masih ada yang meng'accept' permintaan pertemanan facebookku.

Sebuah pesan masuk. Editorku.

"Keep on the line dears. Mark your calendar, deadline menghantuimu"

Aku bersiul. Cara ampuh lari dari patah hati ialah sibukkan hidupmu. Aku bisa selesaikan semuanya hari ini.

Handphoneku bergetar kembali. Masih editorku. Siapa lagi memangnya?

"Dan aku mohon, jika meeting face-to-face terlalu berlebihan buatmu, bisakah kamu tidak pakai topeng serigala pas kita sykpe-an? Gue ngeri"

Haha! Too much too ask for. Editorku terlalu takut dengan kemungkinan aku adalah salah satu anggota teroris pengeboman atau isis. Meskipun memang mungkin aku masuk dalam list DPO -daftar pencarian orang. Bagi keluargaku sendiri.

Aku menggeliat bangun, berlari mengambil sikat gigi yang kutaburi pasta gigi asal. Sementara aku sibuk menggosok gigiku, aku berjalan ke arah dapur memulai membuat kopi lalu memanggang 2 roti sekaligus. Membuka tirai jendela asal, lalu berlari ke wastafel dan membersihkan mulutku.

"Kebiasaan lo sih" Dina tiba-tiba muncul, mengagetkanku. Ini mungkin satu scene yang selalu ada di film-film horror. Ketika seseorang berbicara padamu, tepat dibelakangmu, tapi kau tidak melihatnya lewat cermin didepanmu. Bulan pertama hidup disini, ini hal yang selalu membuatku hampir gila.

"Kebiasaan apaa? Din, bisa ga kamu kalo datang bilang assalamualaikum dulu? Jantungku lama-lama ga sehat"

Dia tertawa seram. "Ogah ah, tar dikira manusia haha. Kebiasaan tuh lo sikat gigi sambil kelayapan. Jorok. Susah cari jodoh lo"

"Yaelah, cari aja jodoh yang mau nerima aku yang nyikat giginya ga sambil diem. Ini namanya mengefektifkan waktu" sergahku. Dia terlihat menggeleng-geleng.

Bunyi ping keras tanda roti panggangku siap. Aku menuju kulkasku dan mengeluarkan selai kacang favoritku. Agak terhenyak ketika aku melihat foto bang faisal di depan kulkas yang aku tempel dengan magnet bentuk strawberry. Ah, aku harus sapu bersih rumahku hari ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Be(Lie)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang