Part 31. Wedding dress

45 2 0
                                    

Mobil hitam yang ramping meluncur halus di jalan, suara ban yang mencengkram aspal menjadi satu-satunya suara di dalam kendaraan yang sepi itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil hitam yang ramping meluncur halus di jalan, suara ban yang mencengkram aspal menjadi satu-satunya suara di dalam kendaraan yang sepi itu. Interior mobil itu mewah,kursi kulit yang empuk, pencahayaan lembut, dan dengungan halus dari pendingin udara. Justin duduk di samping Ellen. Postur tubuhnya bersandar santai,namun wajahnya seperti tidak pernah kosong.

Henry, sopir mereka, tetap fokus pada jalan, sesekali melirik ke kaca spion tanpa menunjukkan emosi. Namun Ellen tidak melihat Henry. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan hal apapun selain pria di sampingnya. Ia tak bisa menghindari perasaan yang menggerogoti dadanya, perasaan terperangkap, baik secara fisik maupun emosional.

Perjalanan ini seharusnya hanya perjalanan sederhana ke butik,mereka akan mencoba baju pernikahan mereka yang sudah selesai. Namun seperti biasa, tak ada yang sederhana dengan Justin.

Kemudian, seperti yang sudah diperkirakan, Justin memecah keheningan, suaranya memotong keheningan seperti pisau.

"El, aku..sedikit penasaran,dan aku baru ingat untuk menanyakan ini padamu" katanya, nadanya santai namun terbungkus sesuatu yang lebih gelap, "apa sebenarnya yang kau dan Hayden lakukan saat aku tidak ada?"

Napas Ellen tercekat, jarinya terhenti dari kegiatannya mengusap ujung gaunnya. Pertanyaan itu mengejutkannya secara tiba-tiba. Ia berusaha menyembunyikan reaksinya, tetapi mata Justin sudah tertuju padanya, mengamatinya dengan cermat. Menunggu wanita itu untuk menjawab.

"Kenapa kau ingin tahu?" tanya El sedikit ketus, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.Namun bahkan di telinganya sendiri, suaranya terdengar seperti usaha untuk mengalihkan perhatian. Ia tidak ingin menjawab, tidak ingin membicarakan Hayden, apalagi saat segala sesuatu antara dia dan Justin begitu rumit.

Senyum Justin melengkung perlahan, namun tak ada kehangatan di dalamnya. "Aku rasa aku berhak tahu, kan?" Mata Justin tak pernah lepas dari mata wanita itu, pandangannya tajam dan penuh perhitungan. "Lagipula, kau sudah menghabiskan banyak waktu bersamanya, bukan?"

Ellen bergeser canggung di tempat duduknya, merasakan panas yang merambat ke pipinya. Ia tidak ingin membicarakan Hayden. Ia tidak ingin memberikan alasan lagi untuk Justin marah. Namun ia juga tahu bagaimana ini akan berakhir,jika ia tidak menjawab, Justin akan semakin menekan.

"Dia teman dekatku,Justin" balas El pada akhirnya, suaranya rendah, lalu dia menatap ke arah jendela mobil untuk menghindari tatapan Justin yang saat ini fokus dengan bibirnya.

"Begitukah kau menyebutnya?"

Ellen menggigit bibirnya, pikirannya berlarian mencari kata-kata yang tepat. Ia ingin menjelaskan, membuat Justin mengerti bahwa Hayden ada saat ia butuh seseorang untuk bersandar, namun ia tahu Justin tidak akan mendengarkan alasan itu. kecemburuan dan kepemilikan Justin..itu memburamkan segalanya.

"Dia laki-laki yang sangat baik, kurasa dia menyukaimu. Bagaimana menurutmu?" tanya Justin lagi, suaranya kini terdengar lebih gelap, lebih dingin. Ia bisa merasakan intensitas tatapannya, seolah ia menunggu Ellen untuk runtuh.

[END] Behind The Camera [Justin Bieber]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang