18 : BOHONG!

62 6 1
                                    

"Waktu tak dapat diputar, yang mengapit kini hanyalah penyesalan."

-

Di sela-sela deru napas yang tak teratur, ia sesegukan, percaya tak percaya pada tuturan orang di hadapannya. Bohong. Namun, kenapa pria ini susah-susah berbohong? Kenapa matanya benar-benar menyiratkan duka? Mas Rio ... dia jujur atau tidak?

Sial sekali, kenapa ia kembali terjerembam dalam jurang?

.

.

.

.

.

.

.

29 Juni, Sabtu

"Bunda ... Bunda ...," panggil Taufan menggeligis. Helai-helai rambutnya naik turun seiring dengan sang pemilik. Ia mengais oksigen rakus. "Bunda ...." Bibirnya tak henti memanggil.

"Kakak ...?" Begitulah suara di ujung sana. Namun, tampang Kuputeri sama sekali tak nampak dalam layar. "Bunda, kapan pulang?"

"Haha, secepet mungkin, Kak .... Bunda harus nunggu persetujuan Dokter dulu, 'kan?" Suara Kuputeri parau di belahan Bumi lain, serak menahan tangis.

Ada jeda mengisi. Kesunyian itu seolah mengucapkan sesuatu yang tak cukup jika dirangkai kata, kesunyian itu seolah menyampaikan sesuatu lebih dari dunia, kesunyian itu rasanya lebih berisik dari tembakan rudal. Sepi ini seperti menyampaikan sesuatu yang tak tersadari ....

"Maaf, ya, tangan Bunda ga bisa digerakin, ga ada perawat yang punya cukup waktu buat nahan ponsel, jadi kalian cuman bisa liat langit-langit, tapi tenang aja, Bunda sehat di sini."

Suara perempuan itu semakin goyah, tanpa Taufan ketahui, wanita di sana tengah menggigit bibir, menarik bibir bawahnya ke dalam. Wanita itu tengah menahan sesuatu yang menggoncang batinnya.

Taufan semakin merancu, banyak kalimat yang ia ucapkan untuk Kuputeri, waktu makin berlalu dan suara-suara Taufan tak ada hentinya mengisi sepi. Ia memuntahkan segala isi pikirannya.

Ice tak berminat mengganggu, ia hanya orang asing, begitu pikirnya. Sementara Amato bahkan tak sanggup hanya untuk menoleh.

Jantungnya trenyuh, bahagia sekaligus rindu. Taufan rindu, rindu sekali ... ia ingin datang dan memeluk ibunya, mengecup dahi penuh kerutan lelah itu, mengusap lembut jari-jemari kasar sang Ibu, memanjakan ibunya, tersenyum ceria agar ibunya ikut tertawa, dan selalu ada di samping ibunya.

Taufan ingin segera mecerca ibunya dengan kasih sayang.

Namun, runtuh sebulan setelah pikiran itu hinggap di kepala Taufan.

.

.

.

.

.

.

.

18 Juli, Kamis

Amato berjalan di samping putranya, mencetak raut speechles yang sangat kentara di wajah. "Yang bener aja Ice, kamu yakin itu beli sate lima puluh tusuk? Emang habis?"

Warna Mimpi [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang