Van Loon - Puzzle 1

106 1 0
                                    

Sebenarnya tak penting untuk tahu siapa aku. Orang-orang terdekatku memberiku julukan tukang andai-andai. Itulah aku. Gemar bercerita. Tapi aku senang menjuluki diriku sebagai mata kamera. Menyoroti kehidupan nyata manusia yang layak untuk dikisahkan. Sesungguhnya kamera tak akan berpihak pada siapapun. Dia tak pernah menghakimi antagonis atau protagonis. Dia hanya melihat, merasa dan mendengarkan, lalu berharap siapapun yang direkamnya akan mendapatkan pelajaran. Kali ini, aku ingin mengumpulkan kisah puzle hidup dari seorang Van Loon. Tahun demi tahun aku menyorotinya. Bertaruhlah padaku, kau tak akan sia-sia membacanya.

***

Dataran Sumatera bagian Selatan begitu cerah, awan-awannya membentuk gumpalan putih yang memisah bak kapas yang terapung-apung di udara. Di ujung sana, sebuah gunung berdiri tegak dengan gagahnya, menyatu bersama bukit yang memanjang memagari desa Talang Benteng. Itulah Gunung Dempo, di dataran kabupaten Empat Lawang, kecamatan Muara Pinang.

Anak kecil itu berlari terengah-engah. Rambutnya pirang. Matanya berwarna biru dan warna kulitnya mirip seperti warna kulit orang-orang barat. Manusia langka di dataran - yang konon menjadi tempat hidup Serunting Sakti di masa dahulu. Seragam merah-putih yang dikenakannya terlihat begitu terang warnanya. Matanya rupanya berair. Dia terus berlari menembus rumah-rumah panggung menuju rumahnya di desa bagian ilir, tepat di depan masjid. Katanya, kelahirannya di negeri itu seakan-akan seperti alien yang hidup di negeri asing, terasing.

"Cepat sekali kau pulangnya, Van?" tanya ibunya heran. Ia baru saja selesai memasak, dan akan bersiap-siap berkemas untuk pergi ke kebun kopi. Namun setelah melihat ada yang aneh dari anak semata wayangnya itu, ia menghentikan aktivitasnya lalu berjalan menujunya yang tengah berdiri bingung. Ada sisa air mata di matanya. Dia tak bisa menyembunyikan kesedihannya karena sisa isakan dari napasnya masih bisa di dengar jelas oleh ibunya.

"Di sekolah ada monster jahat, Mak!" ucap anak itu. Dia memberi alasan yang dicampur dengan imajinasinya akan cerita khayalan yang kerap di dengarnya dari Ibuya ketika hendak tidur. Kemudian dia sesenggukan lalu memeluk tubuh Ibunya dengan erat. Seolah memang benar, monsterlah yang telah membuatnya menangis dan kabur dari hari pertama sekolahnya.

"Monster?," Ibunya terheran-heran.

Anak itu mengangguk.

"Seperti apa wujudnya?" tanya ibunya.

"Menakutkan, Mak!"

Ibunya menarik napas sejenak, "jika kau tak sekolah, kau tak akan bisa menaklukkan gunung Dempo, anakku. Ayo... Umak antar kau ke sekolah lagi. Nanti kau tunjuk siapa monster yang mengataimu anak Belanda itu, biar Umak urus, biar mereka tak berani lagi mengataimu," bujuk ibunya lemah lembut.

Anak itu menggeleng, "Kekuatanku masih belum cukup untuk melawan monster itu, Mak," Dia benar-benar tak mau ke sekolah itu lagi. Lagi, dia memberi alasan yang absurd.

"Jangan khawatir, setelah Umak bicara pada monster itu, ia tak akan berani mengataimu lagi," rayu ibunya sambil membelai rambut pirang anak kesayangannya itu.

"Aku tak mau,"

"Ya sudah jika tak mau. Tapi besok kau harus sekolah, Umak akan menghantarkanmu dan menunggumu sampai pelajaran berakhir. Umak ingin tahu siapa yang berani-beraninya mengataimu seperti itu," tegas Ibunya.

Anak itu mengangguk.

"Gantilah baju kalau mau ikut Umak ke kebun."

Anak itu membalikkan tubuhnya, lantas masuk ke kamar lalu melepas pakaian merah-putihnya dan langsung menggantinya dengan pakaian biasa. Setelah selesai, sejenak ia bercermin. Ia pandangi wajah dan tubuhnya di cermin lemari pakaiannya itu, lalu dibandingkannya dengan foto ibunya yang menempel di dinding kamarnya, semua benar-benar berbeda, tak ada kemiripan dengan ibunya.

"Apa aku ini benar-benar anak Belanda?" bisik hatinya. Namun ia tepis pikiran aneh itu dan segera beranjak dari kamarnya.

****

Untuk sampai ke kebun kopinya, mereka harus melewati jalan khusus, dengan hamparan puluhan hektar perkebunan kopi di sepanjang jalan itu. Ibunya berjalan kaki memikulnya yang berada di dalam sebuah keranjang. Anak itu melamun. Pikirannya kembali menerawang dan memikirkan kejadian-kejadian di sekolah tadi pagi.

"Belanda...!" Teriak seorang anak kelas empat saat melihat ia berdiri di kelas barunya. Ivan terkejut. Tiba-tiba siswa itu mendekat, Berik namanya, cucu seorang pahlawan veteran yang terobsesi menjadi pahlawan seperti kakeknya. Berik sangat terhipnotis oleh cerita-cerita kakeknya tentang perjuangan sang kakek melawan Belanda dan Jepang di masa dahulu. Semenjak itu, Berik sangat suka menonton film kepahlawanan. Ia begitu memahami wajah si penjajah Belanda lewat film yang ditontonnya itu. Saat ia temukan ada wajah kecil yang mirip dengan wajah-wajah tentara Belanda di sekolahnya, naluri kepahlawanan Berik tiba-tiba muncul. Ia tak peduli dan tak mau tahu siapa sebenarnya Ivan. Yang Berik tahu, Ivan sama seperti penjajah Belanda yang harus disingkirkan. Wajahnya tiba-tiba beringas, kedua tangannya terkepal. Ia merasakan betapa pedihnya perjuangan kakeknya dulu melawan penjajah Belanda. Suara tembakan demi tembakan seperti di film-film yang di tontonnya tiba-tiba terngiang di ingatannya. Jerit kesakitan para pahlawan yang gugur, juga teriakan Allahuakbar menggema dalam ingatannya. Saat itu secara tak sengaja Berik menemukan arang. Ia ambil arang itu, lalu ia torehkan membentuk garis miring di kedua pipinya. Ini waktunya aku berjuang, pikirnya. Matnya melototi Ivan penuh dengan kebencian. Saking takutnya, Ivan gemetar dan mulai sesenggukan menahan tangis.

"Monster," gelagap Ivan.

"Anak penjajah tak boleh sekolah di sini!" Teriak Berik dengan geram dan lantang, lalu menarik kerah baju Ivan.

Ivan menunduk tak berdaya. Tak bisa melawan. Tak lama kemudian, teman-teman Berik bermunculan mendekatinya dan melingkar mengerumininya.

"Hari ini kita kedatangan penjajah yang ingin merebut kembali tanah air kita!" teriak berik pada teman-temannya.

Tiba-tiba semua teman-teman Berik berteriak :

"Belando.. Belando... Belando..."

Mendengar ejekan itu, tangis Ivan semakin kencang dan berlari meninggalkan sekolah. Hari itu adalah hari pertama sekolah yang menyedihkan baginya. Ia merasa seperti Thomas Alpha Edison yang diejek teman-temannya ketika penemu listrik ini sekolah.

"Aku bukan anak Belanda...," bisik hatinya. Tapi ketika ia menyadari dirinya berbeda dengan anak-anak Melayu lainnya, ia semakin sedih. Ia kesulitan membela diri karena memang dirinya benar-benar berbeda dengan teman-temannya.

Lamunannya buyar ketika ibunya menyuruhnya untuk keluar dari keranjang. Ivan mulai asyik bermain dengan anak burung puyuh yang baru saja ia tangkap dari sarangnya, sambil menemani ibunya merumputi kebun kopi yang menjadi sumber penghasilan mereka selama ini. Ia lihat bunga-bunga kopi sudah memutih. Tak lama lagi musim panen akan tiba. 

Bersambung.

VAN LOON - Semua Tentang Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang