Keesokannya, Ivan berjalan menuju gerbang sekolah sambil memegang tangan ibunya. Ia berjalan dengan perasaan nyaman, walaupun matanya tetap mengitari seantero sekolah yang bangunannya berleter – L, mengintai keberadaan Berik yang dianggapnya monster. Beruntunglah, Berik diam seribu bahasa di ujung sana. Ivan menunduk saat ia melewatinya. Walau Berik sempat berbisik-bisik pada teman-temannya, Ia tak peduli.
"Anak Mami," dengus Berik.
Di kelas, Ivan mulai menikmati belajar berhitung bersama puluhan murid baru lainnya. Guru baru mereka bernama bu Emi, selama ini terkenal dengan sikapnya yang galak saat mengajar. Semua murid akan gemetar ketakutan bila bu Emi masuk. Baru hari pertama Ivan belajar dengannya, ibu guru itu sudah membuat dada Ivan dag dig dug. Sekali si ibu guru berteriak marah, gendang telinga serasa akan pecah. Selalu ada saja siswa atau siswi yang menjerit menangis bila tak mampu mengerjakan soal di papan tulis, padahal ibu Emi belum menghukumnya, tapi mereka sudah ketakutan duluan. Karena sikapnya yang menakutkan seperti itu, nyaris tak ada satupun murid yang berani berisik. Seperti yang tengah terjadi di kelas baru Ivan, semua terdiam. Sejarah yang terulang.
Sekekali Ivan melirik Ibunya yang tengah berdiri menunggunya di luar kelas. Ibunya merelakan dirinya untuk tidak pergi ke kebun demi menjaga anaknya dari ejekan-ejekan teman-temannya kemarin. Ia berniat untuk memberi tahu siapapun yang mengejek anaknya untuk tidak mengejeknya lagi. Hari itu nyaris tak ada lagi yang berani mengejek anaknya sebagai anak Belanda. Berik dan teman-temannya bungkam tak berani ketika melihat muka garang wanita tua itu mengawasinya. Wajah sangar yang menyaingi wajah ibu Emi inilah rupanya yang membuat Berik dan teman-temannya takut.
Saat ibu Emi keluar dan pelajaran matematika selesai, terlihat sekali siswa dan siswi yang masih baru itu bisa sedikit santai.
"Kau membawa ibu ke sekolah?" tanya Pipen, teman sebangkunya tiba-tiba.
Ivan mengangguk dengan wajah dingin. Ia tahu, siapapun yang ada di kelas ini pasti akan mengejeknya, termasuk anak lelaki yang duduk di sebelahnya. Ia pikir, mungkin pertanyaannya itu adalah wujud kewaspadaannya agar hari ini tidak mengejeknya seperti yang lainnya.
"Kau takut, sendirian ke sekolah?" tanya Pipen sekali lagi.
"Dia menjagaku dari kejahatan monster yang kemaren menggangguku," jawab Ivan dengan tegas.
"Monster? Hahaha!" Pipen tertawa.
"Monster jahat yang memiliki tahi lalat besar di dagu."
"Tahi lalat di dagu?"
Di luar ada Berik yang tengah membawa setumpuk buku. Berik berhenti di depan seorang guru Pria berkaca mata. Ia menyerahkan buku itu pada guru itu. Ivan mendapatinya, ia mengarahkan wajahnya ke sana dan menunjuknya.
"Itu dia monsternya." Ucap Ivan.
"Jadi, kau membawa ibumu ke mari karena takut dengan orang itu?"
"Dia bilang aku ini anak penjajah Belanda."
"Kamu memang berbeda. Rambutmu, kulitmu, matamu, kurasa kamu anak ajaib. Ibumu hebat bisa melahirkan anak sepertimu,"
Ivan tak percaya akan pujian itu darinya. Ia masih belum bisa mempercayai siapapun di kelasnya ini.
"Namaku Pipen. Mulai sekarang kita bersahabat. Kita punya musuh yang sama. Jangan takut dengan Berik anak kelas empat itu. Jika dia mengejekmu lagi seperti kemarin, bilang saja padaku, dia kakakku," ujar Pipen menjelaskan.
"Dia kakakmu?"
"Iya, dia kakakku... Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena kakek sering bercerita tentang para penjajah, ia menjadi sangat benci sekali dengan penjajah," jawab Pipen.
KAMU SEDANG MEMBACA
VAN LOON - Semua Tentang Kita
Teen FictionIvan adalah anak Melayu dari negeri Sumatera Selatan. Berlatar kabupaten Empat Lawang, ia terlahir dengan paras yang berbeda dari anak-anak lainnya di daerah tersebut. Rambutnya yang sedikit pirang, matanya yang biru, kulitnya yang putih persis sepe...