Cafe Flamboyant, Desember 2013.Untuk keduabelas kalinya, burung kecil berbulu kuning cerah itu mematuki pot bunga bougenvil di depan Cafe Flamboyant, sebuah cafe bergengsi yang berada di dekat kawasan segitiga emas bisnis kota Jakarta. Sherry sudah bosan menunggu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, sekali lagi melirik jam tangannya kemudian beralih ke pintu masuk. Semakin menit demi menit berlalu, Sherry semakin gelisah. Ketika tidak tertahan lagi, ia mendesah kesal.
Seharusnya aku tidak berada di sini. Kata-kata itu berulang kali dilafalnya dalam hati. Anggap saja sewaktu melarikan mobilnya ke cafe ini, Sherry dalam kondisi setengah sadar. Dahinya berkerut dan ketidaksabaran membuatnya seperti hendak melentingkan diri dari kursi yang didudukinya.
Untuk mengalihkan pikirannya, Sherry melayangkan pandangannya ke interior cafe yang bergaya ala Paris tempo dulu ini tetapi itu pun tidak berhasil. Berusaha menahan godaan untuk menghitung lebih lanjut aktivitas burung kuning tadi, Sherry kembali memeriksa ponselnya. Sedikit akal sehat mengintip ke kesadarannya menyuarakan sebaiknya ia kembali ke kantor dan melewatkan semua omong kosong ini.
Pulang saja, Sherry. Laki-laki itu datang terlambat, mungkin nyalinya mengkerut. "Astaga, aku benar-benar hampir gila." Sadar bahwa ia menyuarakan apa yang ada di pikirannya, Sherry langsung menutup mulutnya dengan tangan. Semoga tidak ada satu makhluk pun yang memperhatikan tindak-tanduknya saat ini.
Pikiran Sherry melayang ke delapan tahun yang lalu. Samar-samar kekecewaan kembali merayapi hatinya. Peristiwa itu telah berlalu delapan tahun silam dan seharusnya tidak menimbulkan efek yang masih begitu hebat buatnya, benarkah? Sherry bertanya-tanya, setelah semua kata yang terucap dan tindakan yang dilakukannya, apakah masih ada gunanya menemuinya lagi.
Ia, Sherrilynne Felicia Wijanarko, pada usianya yang hampir mencapai 29 tahun dalam beberapa bulan ke depan sudah mendapatkan posisinya sebagai staf senior di sebuah perusahaan konglomerasi multinasional milik swasta. Adapun fokus perusahannnya bergerak dalam bidang perkebunan dan industri kertas yang sedang berkembang dengan sangat pesat. Sukses, cantik, dan tidak menikah. Kehidupan cintanya pun tidak terhindar dari banyak gossip. Bagaimana tidak? Pria yang dipamerkannya seperti kekasih datang silih berganti.
Begitu hubungan sudah menemui jalan buntu, Sherry selalu menjadi penjahat cinta yang cukup legendaris di kolom gossip para sosialita. Puncaknya adalah ketika dia menolak tiga pinangan yang salah satunya berasal dari seorang 'putra mahkota' pewaris kerajaan bisnis berbasis di Eropa. Semua orang bertanya-tanya, mengapa wanita ini, yang notabene bukan artis ataupun berdarah biru punya nyali sebesar itu menolak tawaran yang sangat fantastis tersebut. Tidak diragukan lagi, wanita lain bersedia saling membunuh untuk memperebutkan calon suami yang super potensial tersebut. Sherry hanya beranggapan bahwa berada pada keadaan seperti dirinya berada sekarang kadang membuat lupa dimana bumi tempatnya berpijak.
Akan tetapi, sesungguhnya Sherry memang tidak berniat menikah sampai kapan pun, bahkan ia sendiri pun tidak jelas apa alasannya. Apakah karena kekecewaan masa lalu, ataukah memang lelaki idaman begitu jauh dari bayangannya. Sherry berpikir, mungkin ia hanya ingin menikmati menjadi dirinya sendiri, utuh dan tak terusik. Bebas. Yang jelas komitmen seperti itu tidak lagi terdapat dalam daftar sepuluh besar hal yang harus dicapainya sebelum usia tiga puluh.
"Sherry."
Suara dalam yang khas milik seorang pria menyentakkan Sherry dari lamunannya dan di sinilah lelaki itu sekarang berada. Ratusan derap kaki kuda memacu detak jantungnya. Hanya Tuhan yang tahu betapa keras usaha Sherry untuk mengatur napasnya agar tidak terlihat begitu terkejut.
Sebenarnya, dalam beberapa kesempatan yang tidak begitu sering lagi sekarang, inilah kejadian yang sering dimimpikannya terjadi dalam berjuta versi. Alan selalu menjadi hantu masa lalunya, selalu hadir menjadi tokoh utama dalam mimpi buruknya. Sherry bisa mengingat bagaimana momen canggung ini berlangsung dalam adegan di mimpi-mimpinya, ada kesempatan dimana mereka beradu kemarahan. Di saat yang lain, mereka melakukan perdamaian, sementara adakalanya mereka hanya bercakap-cakap seperti layaknya teman lama. Kenyataannya, Sherry tidak siap untuk sebuah kenyataan, muka bertemu muka, logikanya berhadapan langsung dengan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherry
RomanceSherry sudah lelah dipermainkan kenyataan hidupnya. Kini, dalam puncak karier dan reputasinya yang tercela, sosok pujaan di masa lalunya, Alan, ingin mendapatkan jalan untuk kembali menempati hatinya. Bisa saja semua berjalan mulus asal takdir tidak...