Sepanjang siang Sherry berusaha fokus saat pertemuan dengan pihak Fresh Up. Kantor mereka cukup mewah dan nyaman. Tadi ia dan Ray disambut oleh Made Wasesa, perwakilan dari Fresh Up. Made adalah seorang pria ramah berusia awal 40-an berperawakan kecil namun mempunyai sikap yang menyenangkan. Sekarang, mereka telah berada di ruang rapat selama hampir dua jam. Sejauh ini pembicaraan berjalan dengan mulus kecuali tatapan Ray yang tak pernah meninggalkan dirinya.
"Jika memang demikian pengaturannya. Saya optimis kesepakatan ini akan terwujud dengan mulus, Mr. Fitzpatrick." suara Made menarik Sherry kembali fokus.
"Pak Made, saya harap Anda merasa nyaman memanggil saya Raymond. Saya dan Bu Sherry di sini juga berharap hal ini cepat rampung dan kita bisa menikmati sedikit liburan di pulau Anda yang indah ini." Ray selalu memikat semua orang baik dimanapun ia berada. Tampaknya ia dilengkapi dengan magnet penarik penggemar yang tertanam di wajahnya.
"Kalau begitu besok kita bertemu lagi di sini jam sepuluh?" Made kembali bertanya kepada Sherry.
"Tentu saja, Pak Made. Jika bisa perwakilan dari direksi bisa terlibat besok," Sherry menjawab dengan ramah.
"Baiklah itu sudah ada dalam jadwal, Bu Sherry. Oh ya, Pak Ray dan Bu Sherry, kalau kalian tidak keberatan, kami bermaksud menjamu kalian makan siang. Apakah ada acara lain? Ini permintaan khusus direksi kami, mungkin salah satu direksi kami dan putrinya akan bergabung dengan kita, hanya makan siang sederhana di restoran milik keluarga."
"Bagaimana Sherry? Bisa kita ikut bergabung? Kau tampak sedikit lelah." Perhatian Ray membuatnya sedikit bingung.
"Oh, aku baik-baik saja, Ray. Kurasa tidak sopan menolak ajakan yang menarik ini."
"Kami akan dengan senang hati bergabung dengan Anda kalau begitu Pak Made. "
Selepas berjabat tangan dan memberintahu lokasi makan siang, Pak Made meninggalkan mereka berdua. Sherry memelototi Ray dengan sengit.
"Apa dosaku sebenarnya Sherry?"
"Pertama, berhentilah menatapku seperti itu terus-terusan."
"Apa?"
"Kedua jangan menunjukkan simpati yang bersifat pribadi di depan orang lain selama kita bekerja."
Ray tidak bisa menahan semburan tawanya. "Tidakkah kau berpikir kau berlebihan Sherry. Aku bukannya menyatakan cinta abadiku di depan rapat tadi. Memangnya bagaimana caraku menatapmu?"
Sherry sebal karena lagi-lagi Ray menjadikan ucapannya sebuah lelucon. "Seolah... seolah..." Sherry tidak bisa menemukan kata yang tepat. "Ah... Sudahlah." Sambil merajuk ia meninggalkan Ray yang masih terpingkal-pingkal di situ.
xxx
Sore harinya, Sherry meminta waktu buat istirahat. Matanya sudah sembab karena kurang tidur. Malam ini, konsep final untuk perjanjian sudah harus selesai. Pertemuan berikutnya dijadwalkan besok dan jika tidak ada halangan semua akan selesai di hari Jumat, tiga hari dari hari ini. Selanjutnya, kantor pusat akan mengatur pertemuan antara komisaris dengan pihak penjual langsung untuk penandatanganan.
Makan siang tadi cukup menyenangkan jika saja sang anak gadis pemilik perusahaan tidak terus-terusan bergelayut pada Ray. Ray beruntung karena tampaknya akan ada klien baru buatnya, klien yang benar-benar "menyenangkan". Astaga, aku mulai ngawur, gumamnya dalam hati.
Setelah makan malam, mereka menyamankan diri untuk bekerja di ruang tamu suite. Sherry memeriksa inbox akun email-nya. Sebuah pesan dari Alan. Ia tidak ingin membukanya. Kenangan akan Alan masih menyelubungi benaknya. Keinginan untuk bertemu lagi dengannya masih kuat ia rasakan. Namun itu urusan nanti, sekarang ia punya tugas penting yang harus dikerjakan. Maka Sherry pun memilih tombol logout dari akun pribadinya tanpa membuka pesan dari Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sherry
RomanceSherry sudah lelah dipermainkan kenyataan hidupnya. Kini, dalam puncak karier dan reputasinya yang tercela, sosok pujaan di masa lalunya, Alan, ingin mendapatkan jalan untuk kembali menempati hatinya. Bisa saja semua berjalan mulus asal takdir tidak...