Berjuang Bersama

69.9K 4.8K 243
                                    

Otakku kacau. Pandawa dan Kurawa sedang bertengkar tentang salah dan benar. Gila!

Aku terus merutuki diri sendiri. Gimana bisa aku membalas semua perlakuannya tadi? Gimana bisa kepalaku mengangguk otomatis saat dia nanya soal belajar saling menerima?

Rasa bersalah menyergapku, tiap kali aku memejamkan mata maka bayangan wajah Zeid yang tertawa lebar dan wajah Agil yang tenang membuat otakku hilang dan datang bergantian. Sudah seperti penjahat yang ketauan selingkuh rasanya. Memalukan, Ghea!

Aku menyerah! Enam puluh menit kemudian, aku nyatanya meringkuk di sofa bed kamar Resty yang kuteror untuk menjemputku.

Resty membiarkanku tanpa bertanya apa pun dan hanya isakanku yang sesekali lolos dari mulutku. Menunggu, karena dia tahu, setelahnya aku akan bercerita semuanya!

"Jadi, di bagian mana yang gue ketinggalan?" Resty mengulurkan air mineral yang diambilnya dari kulkas kecil di kamarnya.

"Banyak," sahutku sebelum menenggak air yang diberikannya.

"Kenapa bisa banyak?"

"Karena sebelumnya gue gak mikir ini termasuk hal yang layak buat gue ceritain," sahutku masih bergelung nyaman di sofa.

"Sebenarnya dalam imajinasi gue, pengen deh sekali-sekali lo lepas kendali dan ngajakin gue mabuk-mabukkan kalo lagi baper gini," lanjutnya sambil melemparkan handuk dan babydoll baru tanpa lengan ke pangkuanku. "Mandi, dan setelahnya lo bisa teriak atau nangis sepuasnya di atas kasur gue," tambahnya melihatku yang berdiri dan ingin berjalan menuju kasurnya.

Aku manyun seketika. Bagi Resty, kasurnya terlarang untuk orang yang belum mandi. "Hayook...minum-minum sampai mabuk," ajakku sambil melangkah ke kamar mandi.

"Dan gue harus nyeret lo keluar di detik pertama lo nenggak itu minuman? Ogah!" katanya mendengus sambil melemparkan badannya ke atas kasur.

Dalam sepersekian detik, aku merasa ringan walaupun belum menceritakan apa pun yang mengganggu pikiranku saat ini. Karena aku tahu, aku selalu dapat memperhitungkan semua masukannya.

Aku membersihkan tubuhku secepat yang aku bisa, rasa sesak di dada sudah menuntut untuk dikeluarkan. "So?" tanyanya begitu aku keluar dari kamar mandi dan melesakkan badanku di sebelahnya.

"Ini semua bermula saat live music di kafe waktu itu, Res," kataku saat kami berdua telentang mengatur napas setelah sebelumnya berjumpalitan sebentar di kasurnya.

"Semua ini tentang Papa Pestisida yang ternyata masih single itu kan?"

Aku mengangguk gak kentara.

"Gue ke kost lo sejam setelahnya dan lo lagi tidur dengan damai," sahutnya. "Belum pernah gue masuk ke kost lo dan lo gak terbangun sedikit pun."

Aku mengangguk. Resty pasti bisa menebak kejadiannya. Dia gak nyari aku saat itu bukan karena dia gak peduli, tapi dia ngerti kalo aku perlu waktu sendiri.

"Yep, saat itu gue ngerasa ancur banget. Dan gue melepaskan semua perasaan sesak gue di samping motornya dan dia nemuin gue waktu itu," lanjutku. "Gue nangis, Res."

Resty diam, tapi aku tahu dia mendengarkan.

"Cerita berlanjut saat gue dikerjain dosen tua galak yang gue pikir ngehukum gue dengan magang ulang karena gue gak lulus-lulus. Tapi, ternyata beliau malah bikin gue bisa kerja di salah satu hotel terkenal, Res. Berkat rekomendasi beliau gue bisa masuk dengan mulus di situ. Dan lo tau apa yang terjadi?"

"Lo ketemu sama Agil?"

"Bukan cuma ketemu. Parahnya, gue ngacungin jari ke dia karena gue ngerasa dikuntit. Dobel parahnya, dia itu anak sang pemilik hotel tempat gue kerja," lirihku.

Anesthetized [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang