Setelah menimang hampir sekitar 5 menit, akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk kencan sehari. Aku tak tega dengan gadis dihadapanku ini. Sebenarnya aku tak mau hanya dengan kencan sehari. Aku maunya mengencaninya seumur hidupku. Gombal? Tidak juga. Aku sudah lama memendam cinta dengan gadis dihadapanku ini.
Hatiku cukup nyaring berteriak. Memendam cinta 3 tahun dengan sahabat sendiri sungguh menyakitkan. Apalagi aku harus menahan diri tidak menampakan rasa cemburu terhadapnya sekitar 6 bulan yang lalu ketika ia menjalin hubungan dengan lelaki tak bermoral itu. Aku tahu, Naomi sahabat sekaligus gadis yang sangat kucintai ini tengah berhubungan dengan teman lamaku, Tio. Aku cukup tahu perangai Tio sejak jaman kuliah. Ia hobi menyakiti wanita yang dekat dengannya dengan cara kekerasan. Ya, ia memang agak tak waras. Trauma masa kecilnya yang begitu mendalam ikut serta dalam pusaran hidup dewasanya.
Naomi kerap kali mengadu padaku, bahwa ia ditampar Tio, bahkan aku pernah memergokinya memeluk Naomi dengan cara yang tak manusiawi. Nao, begitu panggilanku padanya, dipeluk oleh Tio dengan cukup keras sehingga Nao kesulitan untuk bernafas. Entah apa masalah mereka, sampai melakukan hal yang begitu. Untung saja aku segera memergoki mereka berdua. Lambat aku tidak bergerak cepat kurasa Nao akan diperkosanya. Ketika aku mendesak Nao mengapa Tio sebegitu geram, Nao hanya memundukan kepalanya dan ia berbisik padaku, Nao hanya tak sengaja melepaskan genggaman tangan Tio saat di reuni SMA Tio, karena akan melambaikan tangannya ke salah seorang yang juga teman Tio yang sudah lama tak dijumpainya. Tak tahu kenapa perkara sekecil itu mampu mengundang emosi Tio.
Dan beruntung sejak 2 bulan yang lalu mereka memutuskan untuk berpisah. Dan sejak 2 bulan inilah aku kembali dekat dengan gadisku. Ketika Nao mengajaku untuk berkencan sebenarnya aku ingin langsung mengiyakan ajakannya, tetapi ego ku begitu kuat. Aku tak mau menampakan diri padanya kalau aku begitu mencintainya.
Kalian pasti bertanya-tanya mengapa sebegitu susahnya berterus terang mengenai perasan ku ini, bukannya aku malu mengakuinya, namun aku cukup tahu diri Nao pernah bilang padaku setidaknya 3 kali bahwa ia bersumpah untuk tidak jatuh cinta padaku. Ketika aku bertanya mengapa, ia menjawab enteng Nao takut putus denganku. Katanya bersahabat denganku merupakan hal yang nyaman baginya. Nao juga berkata ia takut membenciku jika aku berpaling darinya. See? Ia begitu protektif akan hubungan persahabatan ini.
Nao kini bergelayut dilenganku. Tubuhnya bersandar nyaman, sepoi-sepoi angin dari jendela kamarnya menerpa wajah kami. Tapi hey, jangan buruk sangka begitu. Aku tidak habis bercinta dengannya. Kami bergitu dekat sehingga tak ada batasan. Hmm, sebenarnya hanya ada batasan tipis yang mengisyaratkan kalau aku pria dan ia wanita. Namun, sering kali batasan itu kami lupakan. Nao begitu nyaman berdekatan denganku.
“Kita janjian atau kau menjemputku?” tanya Nao tiba-tiba.
“Mengapa bertanya? Sudah jelas aku pasti menjemputmu” jawabku sambil mengelus samar rambutnya yang harum.
“Tapi aku ngga mau kencan konvensional. Aku mau sesuatu yang berbeda dan kali ini kau tak perlu menjemputku” Ujar Nao sambil melepaskan gelayutnya dan menghadap padaku.
“Konvensional? Kamu merencanakan apa?”
“Hmm, kencan yang ga biasa, sayang... gimana kalau kita kencan ala anak sekolah?”
Aku mengernyitkan dahiku, “Anak sekolah? Memakai seragam maksudmu?”
“Tepat! Seratus buatmu, Pandu sayang! Kita pakai seragam dan kencan!” Ujar Nao sambil tertawa dan merebahkan tubuhnya diranjang.
Nao begitu menggemaskan jika tertawa, bibir tipis merah alami yang sedikit terbuka membuatku tak henti-hentinya berkhayal untuk menciumnya. Dan lesung pipinya yang membuat wajah putihnya semakin menarik. Serta matanya yang hitam bening. Tak heran banyak pria yang ingin mengencaninya. Tubuhnya juga proposional. Tak gemuk tak kurus. Ahh, banyak hal yang tak dapat kusampaikan bagaimana aku sangat mengangguminya. Dan bukan hanya karena fisik semata.
Aku mengikutinya untuk berbaring disampingnya. Kami berhadapan. Diam. Saling menatap. Aroma tubuhnya tercium jelas jika berdekatan begini. Wangi citrus. Begitu lah aroma khas Nao. Entah ia memakai apa, yang pasti Nao selalu beraroma citrus segar. Dan nafasnya selalu menghembuskan wangi mint, walaupun kami belum pernah berciuman.
Tiba-tiba Nao menyentuh dada bidangku yang terbalut kaus tipis biru ini. Tangannya menyentuh bahu, leher dan berakhir di rahangku. Nao selalu berkata kalau bentuk wajahku sangat lelaki. Ketika apa maksudnya Nao hanya menggelengkan wajahnya. Mungkin ia bingung mengatakannya. Lalu dengan jemarinya yang lentik Nao, mengelus bibirku.
“Boleh aku menciummu?” pinta Nao tiba-tiba.
Aku yang sedang membayangkan menyentuh bibir tipisnya dengan bibirku, mendengar permintaannya cukup terkejut. Hening. Aku tak dapat menjawabnya. Batinku bersorak gembira. Nao dan aku mendekat, dan......
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandu's Thinking
RomanceNao pernah bilang setidaknya 3 kali bahwa ia bersumpah untuk tidak jatuh cinta padaku. Ketika aku bertanya mengapa, Nao menjawab enteng, ia takut putus denganku. Katanya bersahabat denganku merupakan hal yang nyaman baginya. Nao juga berkata ia taku...