“Boleh aku menciummu?” pinta Nao tiba-tiba.
Aku yang sedang membayangkan menyentuh bibir tipisnya dengan bibirku, mendengar permintaannya cukup terkejut. Hening. Aku tak dapat menjawabnya. Batinku bersorak gembira. Nao dan aku mendekat, dan......
***
Jariku menyentil dahinya. Ia pun tertawa. Aku tahu Nao. Ia pasti berpura-pura, ia tertawa tergelak sampai memegang perutnya. Aku hanya mendengus, apanya yang lucu?
“Kau lucu, Pandu! Kau pikir aku serius ya?” tanya Nao disela tawanya
Aku mendengus lagi, “Kau pintar merayu, gadis kecil! Dan aku tak tergoda rayuanmu!” ah, batinku mengkerut kecewa.
Nao kini tertawa kecil. Ia kembali normal. Nao memelukku dengan kedua tangannya yang tersampir dileherku.
“Aku sayang kamu, Pandu Chandrawinata.. mudah-mudahan persahabatan kita bertahan sampai nenek kakek yaa?” ujarnya sambil menenggelamkan wajahnya didadaku.
Aku sedikit tergelak, dan mempererat pelukannya. Dalam hati, aku menginginkan lebih. Aku ingin menghabiskan masa tuaku denganmu. Aku ingin kita tua dan tetap mesra melihat anak cucuk kita tumbuh.
***
Harusnya hari minggu aku bisa tidur sampai siang bahkan sampai sore sekalian, mengingat pada hari kerja aku terbiasa lembur demi kepentingan pekerjaan dan juga untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Namun, hari minggu ini aku tak seberuntung biasanya. Dering nada hp yang terletak di nakas samping tempat tidur, tak henti-hentinya berdering dan itu sangat menganggu tidurku. Sudah satu jam lebih si penelepon tak jua berhenti untuk menghubungiku. Akhirnya aku terpaksa meladeni si penelepon yang tak tahu diri itu. Dengan kesal, kusambar hp yang membuat benda-benda diatas nakas jadi berantakan, bahkan dompetku jatuh dan sebagian isinya berserakan ke bawah.
Ternyata Nao! Seketika aku tepuk jidat dan mengaruk tengukku yang tak gatal. Pasti ia menungguku sedari tadi. Dan dapat dipastikan juga ia bakal mengamuk, nanti pada waktu bertemu denganku. Aku mengangkat teleponnya sambil setengah berlari menuju kamar mandi. Kalau ada kejuaraan mandi tercepat, pastilah aku juaranya, aku hanya butuh 5 menit mandi sekaligus berpakaian untuk pergi. Tak lupa ku semprotkan parfume davidoff andalanku.
Setelah apartemen benar-benar dikunci, aku langsung bergegas menuju parkiran. Aku merasakan ada sesuatu yang kurang namun, aku tak memperdulikannya. Yang ada dalam pikiranku, hanyalah amukan Nao.
Segera aku memacu Range Roverku keluar dari parkiran menuju tempat janjian di pasar kaget. Ya benar, pasar kaget yang dagangannya suka berhamburan sampai ke trotoar, yang dadakan dan selalu ada diminggu pagi. Hanya butuh 15 menit dari apartemenku menuju pasar kaget itu dan dari kejauhan ku lihat sosok Nao yang sedang melipat tangan didada sambil menunduk, kakinya menendang-nendang kerikil di bawahnya. Tubuhnya bersender pada kotal telepon yang sudah tak dapat terpakai. Ku klakson, dan Nao segera beringsut mendekati mobil, masuk dan wajahnya di tekuk.
“Nao, maafkan aku. Aku..” belum sempat kuutarakan alasan mengapa aku terlambat, Nao mengibaskan tangannya kearahku, “Belok kiri, parkir disupermarket itu” suaranya sedikit gemetar tandanya ia ingin memaki-maki aku tapi ditahannya.
Kuturuti keinginannya. Butuh kesabaran yang tinggi untuk dapat parkir didepan supermarket yang terletak ditengah tengah pasar kaget ini, pasalnya orang-orang berlalu lalang berdesakan ditambah para pedagang yang memenuhi trotoar jalan. Aku hanya bisa pasrah dan selalu menginjak rem berkali-kali. 10 menit berlalu, akhirnya aku bisa memarkirkan mobilku. Nao langsung pergi mendahuluiku. Setelah kupastikan mobil benar terparkir lurus dan aman, aku segera berlari dan menangkap Nao. Kupeluk ia dari belakang, Nao tiba-tiba diam dan melepaskan pelukanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandu's Thinking
RomanceNao pernah bilang setidaknya 3 kali bahwa ia bersumpah untuk tidak jatuh cinta padaku. Ketika aku bertanya mengapa, Nao menjawab enteng, ia takut putus denganku. Katanya bersahabat denganku merupakan hal yang nyaman baginya. Nao juga berkata ia taku...