Hujan masih menemani tiap henbusan nafasku, 30 menit berlalu begitu cepat tanpa mampu kucegah. Awan masih menghias dinding langit dengan pekatnya membuatku kembali teringat tentang kejadian setahun yang lalu. Di tempat ini, pada pukul 3 sore di sudut cafe dekat dengan jendela besar berembun. Yang kini kembali kutapaki.
Ditemani teh hangat dan bunyi tut piano yang membuat suasana tampak kembali seperti dulu. Hampa dan terasa kosong, semua seakan membuatku kembali merutuki kebodohan terbesar yang pernah kulakukan. Jika boleh berharap, aku hanya ingin bertemu dengannya, meminta maaf dan mengatakan yang sebenarnya kurasakan waktu itu.
Ya, itu konyol. Tertawakan saja. Aku tidak akan marah.
Uap hangat entah keberapa kalinya meluncur dengan bebas di udara akibat ulahku. Beberapa kali pula mata ini menyusuri tiap petak tempat kramat ini. Berusaha mencari objek yang dulunya begitu kuhindari. Meski hal itu terdengar konyol aku tetap berharap. Pada kenyataannya aku hanya tak mampu ikhlas akan dia.
Beberapa kali sudah kucoba berpaling, entah berapa juga pelampiasan kugenggam, nyataku aku tetap merasa hampa. Sampai aku sadar, seberapa besar pun aku berusaha menjauh dan berpaling tetap saja pandangan dan pikiranku selalu tertuju pada satu orang.
Dia yang kini jauh.
Entah di mana dirimu berada.
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu.
Apakah disana kau merindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu.
Selalu merindukanmu.Tawa sinis menghias wajah seakan ikut mengejek diri betapa bodohnya aku. Menyia-nyiakan hati yang senantiasa begitu sabar dan selalu ada untukku. Ketika ingatan kembali memberi ruang untuk menyebar pada seluruh sendi memory serangan rasa sesal hanya membuatku menghela nafas.
Andai kata seperti harapan konyol, jika waktu bisa berputar kembali, akan kuperbaiki semua kesalahan dan kepengecutanku dulu. Seharusnya ketika hati mulai membuatku melihat kehadirannya, bergerak cepat adalah akhir dari semua keraguanku selama ini. Berhenti padanya dan membuat lekungan manis, mengatakan padanya jika aku ingin dia. Tapi ketika satu kata terucap dari mulutnya, lidahku kelu seakan ada tak kasat mata yang membuatnya sulit untuk berkilah.
Hufh!
Lagi untuk kesekian kali hembus nafasku membuat uap basah di udara. Bercampur dengan aroma khas caffe teh ini. Dari setiap penjuru tercium aroma yang sama, harum melati. Cukup menenangkan untuk pikiran kalut sepertiku. Dan panorama yang tidak memiliki perubahan berarti di sudut-sudut tertentu seakan menambah kesan akan ketenangan tersebut.
Denting bell yang berada di atas pintu masuk cafe berbunyi menandakan adanya seseorang yang datang. Mungkin karena cuaca dan suasana kelam seakan memancing mereka yang butuh kesendirian dan ketenangan untuk berteduh. Sama halnya denganku. Batin dan jiwaku membutuhkan waktu untuk sendiri, berpikir dan butuh akan ketenangan.
Tidak mudah bagi anak arsitek sepertiku menikmati hari luang karena tugas kampus selalu setia menemani, di tambah dengan beban lainnya. Seperti skripsi yang harus kuselesaikan tepat waktu. Banyak waktu tapi terlalu minim peluang. Dan aku tertekan oleh keadaan. Dan cafe ini yang selalu setia menemani, selalu mau menyambutku dengan aroma tenangnya, selalu setia membuatku kembali melihat kebelakang. Pada kisah dulu ketika kata labil masih membutakanku.
Camelia.
Satu dari segelintir orang yang pernah kusia-siakan saat diri masih menjabat player tenar membuatku selalu diserang sesal. Memang benar kata orang, yang dulunya sedekat nadi bisa saja suatu waktu sejauh matahari. Seperti dirinya.
Aku Tahu Aku Tahu Aku Tahu Aku Salah.
Tuk memintamu tuk menungguku.Aku Tahu Aku Tahu Aku Tahu Aku Salah.
Ini ego ku, menggantungkanmu.Kumohon sabar sabar sebentar beri aku waktu.
Tuk meninggalkan cinta lama yang masih bersamaku.
Bukan maksudku untuk mempermainkan dirimu.cobalah untuk mengerti keadaan ini.
Karena hanya kau yang bisa memahami semua ini.
Sedih dan air mata tak dapat lagi ku tahan.Aku kan datang Tuk hapus air matamu.
Aku kan datang.Lagu ini terasa menohokku, menyudutkan semua rasa bersalah dan kecewaku. Dulu karena sebuah harapan yang tak pernah bisa kugapai, mempermainkan yang lain menjadi santapanku. Sampai aku sadar akan letak hati yang pernah kuabaikan perlahan menyusup memberi rasa lain. Membuatku harus menghalaunya karena takut akan terulang kembali.
Tapi aku kalah dengan ketulusan itu, sampai membuatku diam-diam menghindar, mencoba menjadi si player lagi meski tanpa gairah. Aku benci saat aku tahu tentang kenyataan jika waktu mampu merubah segalanya, termasuk perasaanku. Juga perasaannya.
Hufh!
Kursi yang kududuki sedikit berdecit karena ulahku. Sandarannya menjadi incaran punggung kaku yang terasa sakit seakan memberi rimbun akan beratnya beban yang kupikul.
Ini hidup yang terasa rumit, satu sisi aku hanya ingin tenang. Tanpa harus memikirkan apa pun yang nantinya membuatku terserang rasa sesal. Tapi kenyataan kadang memang tak seindah harapan. Karena pada dasarnya, kenangan akan selalu menemani setiap petak langkah.
Jika boleh bermimpi tentang sebuah angan. Akuu berharap hadirnya dia dalam bentuk nyata tanpa halusinasi yang selalu menghampiriku. Seperti saat denting bell kembali berbunyi dan bayangannya yang tersenyum lebar menjadi objek utama.
Aku menggeleng pelan sampai decit kursi di samping kiriku membuat ototku terasa tegang. Dia nyata dengan senyum menawannya. Rasa bahagia menyusup perlahan menyejukkan relung hati. Tapi perlahan senyum itu berubah tipis saat pandangannya jatuh pada seseorang yang dulunya kubenci.
Dan rasa bahagia yang tadi menghampiriku perlahan hilang menyusut mendengar panggilannya, sayang? Aku ingin tertawa rasanya. Hal yang sejak setahun lalu ingin kuucap tak pernah tersampaikan. Kini terdengar jelas dalam Indera pendengaranku dengan dirinya yang lain.
Kusentuh dadaku yang terasa sakit. Kentara dengan emosi dan penyesalan yang datang bersamaan. Aku ingin menyapa, menanyakan kabarnya, ingin berbagi senyum dan bahagia. Tapi keinginan itu harus kukubur dalam-dalam. Melihat senyumnya yang dulu merekah membuatku tertunduk malu.
Aku kalah.
Aku salah.
Dan aku menyerah.
Untuk bahagianya dengan yang lain, aku berdiri, melangkah menjauh darinya yang mungkin belum menyadari keberadaanku di sini. Tempat terakhir saat keputusan dan kepengecutanku dulu bermula. Dan mungkin akan menjadi tempat terakhirku melihatnya sampai nanti.
In the place, I am lose.
****
Note: sebenarnya saya sudah pernah update chapter ini tapi bukan dalam versi seperti sekarang. Bisa dibilang saya ubah alias revisi. Tapi ya, semuga suka sajalah dengan chapter absurd ini.😆
Btw, typos bertebaran....