Gerimis.
Perempuan berambut hitam legam itu tengah menatap rintik-rintik gerimis yang mengguyur bumi lewat jendela raksasa yang ada di samping kirinya. Sesekali dia menyesap minuman hangat sebagai teman dalam diam kesendiran. Sesekali mata menyosuri denah cafe yang sejak 3 tahun lalu tak pernah berubah. Sesekali pula sudut bibirnya terangkat ketika mengingat sebuah memory juga senyum pelayan cafe yang telah mengenalnya.
Lalu ketika rintik perlahan berubah menjadi cairan lebat senyum itu hilang. Seakan ikut tersapu oleh derasnya air di luar jendela. Bayangan dulu dia adalah seorang gadis bodoh yang berharap cinta pertamanya berakhir indah perlahan terbayang membuat tatapannya berubah sendu.
Dan ketika dulunya dia menutup mata dan telinga semua terasa salah. Sabar dan kecewanya tak pernah mau berhenti bahkan menambah beban akan sebuah harapan kecil, sampai saat itu tiba, ketika dia mulai lelah dan semuanya berakhir.
Pada detik pertama di angka 3 sore. Semua sabar, kecewa, penantian dan harapannya musnah. Hilang tak memberi bekas. Iya, itu menurutnya setelah melepas apa yang dia anggap sebagai beban.
Lalu ketika sebuah sapuan detik perlahan membentangkan nyanyian detaknya, Amiel merasa semua salah. Sangat salah ketika dia sadar dengan keputusan sepihak dan tergesa-gesanya. Keputusan yang sebenarnya telah dia pikirkan jauh-jauh hari tidak mampu membuat seorang Amiel yang terlalu jatuh tidak bisa berdiri lagi.
Hembus nafas yang menguap membuat Amiel mau tak mau harus menelan kekecewaan karena keegoisannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Amiel tidak mungkin kembali dan meminta hal yang menurutnya hanya akan menimbulkan luka baru. Gengsi memang tapi itulah yang Amiel lakukan. Diam dan pergi.
2 tahun berlalu saat semua yang Amiel usahakan tidak membuahkan hasil, bahkan Amiel harus menelan kekecewaan lain saat setiap saat semua orang menyinggungnya tentang sebuah status. Itu hanya sebagian dari semua rasa nano-nano yang Amiel rasakan ketika memutuskan mengakhiri hubungannya dengan Revan.
Hubungan?
Bahkan mengatakannya saja Amiel ragu tentang kenyataan pahit itu. Tentang rasa patah hati yang mendalam.
Terjadi hening cukup lama sampai kepalanya mendongak dan bersitatap dengan iris hitam seseorang yang juga menatapnya. Lalu pandangannya jatuh pada pakaian yang orang itu kenakan. Semi formal untuk ukuran cowok sederhana dan santai seperti orang itu membuat Amel sedikit mengernyit.
Sejak kapan dia berubah?
"Maaf aku terlambat. Di kantor banyak kerjaan yang harus aku selesaikan dulu. Lama nunggunya?" Nada menyesal itu mengundang sudut bibir Amiel melengkung ke atas.
"Tidak. Hanya setengah jam," masih dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya, Amiel memperhatikan sosok di depannya dan kembali mengernyit saat mendapati beberapa tetes air yang menguar dari jas dan kepalanya.
"Kehujanan?" pertanyaan yang seharusnya berupa pernyataan itu membuat Amiel menghela nafas, lupa dengan kebiasaan buruk orang di depannya membuat Amiel jengkel, "aku pesankan teh hangat, tunggulah sebentar."
Gadis itu langsung berdiri menghiraukan penolakan orang itu, berdiri diantara pengunjung cafe yang lain untuk mengantri. Setelah memesan dan mendapatkan apa yang diinginkan Amiel kembali ke tempat duduknya di dekat jendela. Di hadapan seorang laki-laki yang sejak awal memasuki cafe tidak pernah melepaskan pandangannya dari sosok Amiel.
Meski tanpa Amiel tahu.
"Maaf merepotkanmu," ada nada tidak enak di sana membuat Amiel hanya mengangguk mengerti meski pikirannya berkelana entah kemana karena melihat perubahan drastis dari sosok di depannya.