Want, Dreams, Wishes, and live

442 29 9
                                    

"Untuk apakah kau hidup?"

Hal itulah yang selalu kutanyakan ada diriku sendiri. Aku pun hanya bisa menjawab "tidak tahu dan segera menutup topik pembicaraan.

Namun sebuah pertanyaan lain lambat laun muncul dan mulai mengusikku.

"Hidup apa yang kau inginkan di masa depan?"

"Entahlah", jawabku singkat.

"Kau pasti memiliki masa depan yang kau inginkan", balas pikiranku sendiri berusaha membuatku bicara.

"Ya, ya, aku mungkin akan jadi pegawai, bekerja dengan gaji pas-pasan. menikah dengan wanita biasa, mempunyai seorang anak. Kemudian aku akan tua dan tidak melakukan apa-apa lagi. Kemudian aku akan sakit dan mati"

"..............", pikiranku terdiam. "Apakah kau benar-benar menginginkan masa depan yang seperti itu? Tidakkah itu membosankan?"

"Tentu saja membosankan!", tegasku. "tapi apa lagi yang bisa kuharapkan?"

"Apa kau siap mati?", sebuah pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan topik sebelumnya muncul. Aku pun berpikir keras untuk pertanyaan yang satu ini.

"Mmm, mungkin aku sudah siap bila sekarang aku mati", jawabku ragu.

"Di umur yang semuda ini, kau sudah siap mati?", ujar pikiranku mencari kejelasan.

Aku tidak merasa bangga mendengar kalimat itu. Justru aku menjadi penasaran. "Mengapa aku siap mati?"

Pikiranku kembali terdiam. Mungkin dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Namun beberapa menit kemudian dia mulai berbicara.

"Orang yang tidak memiliki tujuan hidup, tentu saja siap mati"

"Hah?", ungkapku bingung. Belum sempat aku berbicara, pikiranku melanjutkan,

"Orang yang tidak punya tujuan hidup sama saja dengan mati"

Dikepalaku, kalimat itu terdengar sangat tidak sopan.

"Jadi kau pikir aku orang mati!", balasku tersinggung. Namun pikiranku hanya mengeleng-gelengkan kepalanya. Aku tahu pikiran tidak punya kepala. Aku hanya merasakan keprihatinan dalam dirinya. Seolah dia merasa kasihan padaku.

"Mengapa kau melakukan itu? Apa kau mau mengasihaniku? Kau pikir aku butuh dikasihani!", seruku kesal. "Hidupku sangat nyaman. Aku punya orang tua yang baik. Saudara-saudara dan teman-teman yang baik. Aku pun dinilai baik oleh mereka. Aku juga punya prestasi yang baik di sekolah. Hidupku berkecukupan. Apa lagi yang perlu dikasihani dariku!?".

"Begini saja", balas pikiranku tenang. "Bila kata 'tujuan hidup' terlalu sulit untukmu, coba ganti dengan "keinginan'. Apakah kau memiliki keinginan?"

"Aku sudah memiliki segalanya. Tidak ada lagi yang kuinginkan"

"Apakah kau memiliki keinginan?", ujar pikiranku mengulang kalimat yang sama.

"Sudah kubilang kan. TIDAK ADA! Aku sudah memiliki segalanya", jawabku jengkel.

"Apakah kau memiliki keinginan?", ulangnya kembali.

"Hentikan pertanyaan bodoh itu! Aku tidak menginginkan apa-apa!"

"....", kali ini dia diam, memberiku sedikit waktu untuk berpikir. Namun waktu yang dia berikan justru membuatku ragu. Apakah benar aku tidak menginginkan apa-apa. Semakin kucari, semakin terasa sesak di dada.

"Apakah aku ingin kaya? Tidak. Apakah aku ingin terkenal? Tidak. Apakah aku ingin pintar? Tidak. Apakah aku ingin bijak? Tidak! Apakah aku ingin hidup makmur!? Tidak! Apakah aku ingin hidup tenang!? Tidak! Apakah aku ingin hidup bahagia!? Tidak! Apakah aku ingin hidup!?", tak dapat kujawab pertanyaan itu.

"Apakah aku ingin hidup?", kuulang kembali pertanyaan itu.

"Apakah aku ingin hidup?"

"Mengapa aku hidup?"

"Apa yang bisa kudapat dengan hidup?"

"Mengapa aku hidup?"

"Apakah aku ingin hidup?"

"Apakah aku ingin hidup?"

"Apakah aku ingin mati?"

".............................", aku terdiam.

"Apakah aku ingin mati?", kuulang kembali pertanyaan itu.

"Jadi", ujar pikiranku memotong, "Apakah kau memiliki keinginan?"

"Tidak", jawabku sedih.

"Kau siap mati. Namun tidak memiliki keinginan untuk mati. Kau tidak berbohong, namun tidak memiliki keinginan untuk jujur. Orang yang tidak memiliki keinginan terlihat menyedihkan dimataku. Karena itulah aku mengelengkan kepala. Karena itulah aku mengasihanimu"

Mendengar perkataannya, aku hanya dapat menundukkan kepala. Aku tidak pernah sadar, seberapa menyedihkannya diriku. Manusia yang hidup tanpa keinginan.

"Kau salah", ungkap pikiranku. "Kau masih memiliki sedikit keinginan".

"Apa maksudmu? Aku masih memiliki keinginan? Bukankah aku sudah mencoba memikirkannya. Tapi tidak ada satu pun keinginan yang dapat kutemukan"

"Kau masih memiliki keinginan untuk berbicara padaku"

Mendengarkan pernyataan itu, aku hanya dapat terdiam.

"Bila kau tidak memiliki keinginan untuk berbicara denganku, maka mendengarkanku pun kau tidak akan mampu"

"Mendengarkanmu?", tanyaku. "kau ini siapa?"

"Aku adalah mimpi, permohonan, harapan, keinginan. Keberadaanku membuktikan bahwa kau masih memiliki keinginan"

"Keinginan? Bagaimana mungkin keinginan bisa berbicara padaku? Hati nurani mungkin bisa berbicara, namun keinginan?"

"Hati nurani hanya mengajarimu untuk menjadi orang yang baik. Namun keinginan mengajarimu untuk memiliki tujuan hidup. Dan karena aku tidak dapat mengajarkannya melalui hidup, aku mengajarkannya melalui perbincangan langsung padamu"

Keinginan ini, berbicara langsung padaku. Aku masih tak dapat mempercayainya. namun aku sadar, di dalam diri manusia, ada lebih banyak lagi dari sekedar hati nurani.

"Keinginanmu untuk berbicara padaku sudah terpenuhi. Jadi, apa kau masih memiliki keinginan lagi?"

Apakah aku masih memiliki keinginan lagi? Ya. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis banyak cerita menarik. Aku ingin melepaskan diri dari masa depan yang membosankan"

"Hahaha", dia tertawa. "Maksudmu masa depan dimana kamu menjadi pegawai biasa yang menikah?"

"Tidak. Aku ingin lebih dari itu. Aku bahkan ingin lebih dari menulis. Setelah lulus nanti, aku ingin menggambar. Aku ingin menggambar. kemudian aku akan membuat animasi. Aku juga akan belajar alat musik. kemudian menulis banyak lagu. Aku ingin karyaku dikenal. Aku ingin orang-orang mengagumiku. Aku ingin memiliki istri yang luar biasa. Anak yang nakal. Aku ingin hidup yang menyenangkan. Aku ingin hidup yang menarik. Aku ingin hidup yang mendebarkan. Aku ingin....aku ingin..." Kututup mulutku untuk beberapa saat. "Aku ingin hidup"

Pikiranku tersenyum. "Jadi, apakah kau siap untuk mati?"

"Tidak! Aku belum siap. Masih banyak yang ingin kulakukan"

Want, Dreams, Wishes, and liveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang