Prologue #

14.8K 134 8
                                    

Disuatu senja yang hangat, dipenghujung bulan maret, angin berhembus sepoi-sepoi, mengoyangkan rerumputan yang tumbuh hampir menutupi sebagian kawasan taman kota, membingkainya dengan hamparan warna hijau lembayung yang memesonakan mata.

Ditengah kedamaian itu, terdengar sorak sorai anak-anak yang berkerumun disepanjang tepi danau yang berada ditengah taman, menyemangati para pemain speedboat yang sedang mengadu kecepatan speedboat masing-masing.

Air menyembur saat kipas pendorong berputar cepat, membuat speedboat itu melaju kencang, membelah permukaan danau disepanjang jalur lintasannya.

Para penonton semakin keras bersorak saat salah satu speedboot itu hampir tiba diseberang danau.

" ya, kalahkan dia!! "
" buat mereka menangis!! "
" hancurkan kapal mereka!! ".

Dari balik koran yang sedang dibacanya, rayan mengamati mereka yang tampak lebih antusias dibandingkan dengan para pembalap kapal remote itu.

Di sisi lain, diarah barat tempat mentari yang kian tenggelam dikaki langit, tampak satu keluarga yang sedang menghabiskan waktu senggang mereka dengan berkumpul di taman, melewati waktu dalam kebersamaan.

Sang ayah, pria berusia 30-an, tampak bermain lempar bola dengan kedua putranya yang berumur 8 dan 9 tahun. sang ayah tersenyum saat salah satu putranya gagal menangkap bola, atau bola itu mengenai kepala sang anak.

Sementara sang ibu, yang duduk di atas tikar, sedang membaca sebuah novel sembari mengawasi putri kecilnya yang baru berumur 3 tahun, melompat-lompat mengejar belalang.

Namun, tak semua orang bisa tertawa lepas, dengan wajah bahagia yang ditunjukan keluarga atau gerombolan anak yang menonton pertandingan balap kapal itu.

Entah dimana, didunia ini, pasti ada seseorang yang hidup dalam penderitaan, menangis dalam ketidakadilan kehidupan. menunggu sebuah akhir dari kehidupan yang tak diinginkan, yang sering disebut para novelis sebagai happy ending.

Namun tidak semua orang mendapatkan akhir yang sama, kecuali bagi mereka yang ingin berubah, tidak menyerah dan pasrah menantikan sang juru selamat membebaskannya dari kukungan nasib yang menjeratnya.

Dibalik rimbunnya semak belukar yang tumbuh agak jauh disudut taman, dimana pohon-pohon jati tumbuh tinggi dan rindang dengan dahannya yang bercabang-cabang, membentuk sebuah kanopi dedaunan.

Diantara pepohonan itu, dikeremangan senja yang beranjak malam, terdengar bunyi gemerisik ranting yang patah, serta suara nafas yang terengah-engah.

Rayan berjalan dengan hati-hati, amat perlahan, mendekati kawasan hutan yang agak lebat disebelah utara taman itu.

Ia berhenti, memasang telinga, berusaha menangkap segala bunyi yang ada disekitarnya. kicauan burung terdengar dikejauhan, diikuti derum mesin bermotor yang dimatikan.

Namun, diantara bunyi-bunyian itu, ada suara, keras tapi tidak jelas, seperti suara teriakan yang teredam.

Setelah memastikan sumber suara, rayan pun mengikuti suara samar yang menuntunnya semakin dalam memasuki hutan.

Bayangan pepohonan yang memanjang dan hawa dingin yang mulai membungkus dirinya, menciptakan semacam perasaan gelisah, seolah-olah ada seseorang atau mahluk astral yang menantinya diujung jalan.

Rayan menghela nafas, mencoba menekan rasa takut yang mencengkeram kuat jantungnya setiap kali ia melangkahkan kaki menyusuri semak belukar yang menari-nari tertiup angin semilir.

Begitu ia sampai disebuah persimpangan jalan setapak yang dilaluinya, suara itu semakin jelas terdengar. ya, suara seseorang yang dibekap mulutnya, mungkin dengan lakban, menahan jeritannya yang akan memancing rasa penasaran seseorang, seperti dirinya sekarang.

Janji Disaat Kita BermimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang