Bagian satu

337 19 9
                                    

Rembulan menggantung sempurna dimalam yang indah ini. Langit bersahabat, suasananya juga menyenangkan. Aku ditemani Rei, kekasihku sejak 1 setengah tahun silam. Rei lelaki tampan, putih, badannya atletis, pendiam, namun tetap romantis.

Aku membenarkan posisi tidurnya, lelaki yang manis. Tiba-tiba Rei memelukku, ternyata dia hanya berpura-pura tidur.

"Hei, jangan pura-pura tidur jika belum mengantuk." Aku menatap wajahnya yang masih memejamkan mata, tangannya mulai menelusup bajuku. Dia ingin bermain bersama iblis.

*flashback*

Siang itu, badanku panas, kepalaku mendidih. Tanpa berfikir panjang, aku mengambil kunci mobil, dan langsung menyambar pisau kecil. Aku akan mencarimu.

Aku menyalakan GPS, dan langsung melacak keberadaan-nya. Tidak sulit mencari jejak perempuan bodoh seperti-nya. Apa lagi dia memberikan kemudahan untukku, tadi dia menghubungiku dan aku bisa melacak keberadaannya kapanpun aku mau.

Mobilku melaju dengan kecepatan penuh, menuju pusat perbelanjaan terkenal dikota ini. Tak perduli mobil lain bersumpah serapah kepadaku, yang penting aku cepat sampai tujuan. Jam tanganku menunjukkan pukul 1:23 PM aku tidak menyukai angka aneh itu, sudah hampir setengah jam aku menunggu. Perempuan bodoh itu tidak terlihat juga, sial.

Pukul 1:41 PM akhirnya terlihat juga gaya cupunya. Cih!anak kecil

Aku mengikuti taksi yang membawanya, hingga di setengah jalan taksi yang dia tumpangi mengalami kebocoran ban. Ternyata dewa keberuntungan mendukungku. Mobilku merapat disisi jalan, aku membenarkan posisi kacamataku. Perempuan itu terkejut melihat kedatanganku, aku tahu jantungnya sedang panik dan ingin berlari. Aku menghampirinya dan tersenyum licik.

"Senang bertemu denganmu disini."

Hening

"Aku sedang berjalan-jalan disini dan melihatmu dari kejauhan. Butuh tumpangan?" Aku menatapnya yang sedang bingung dan terlihat keringat dingin. Wajahnya semakin terlihat bodoh.

"Eh..tidak. Terimakasih" Dia menjawab dengan nada terbata, dia gugup.

Aku menghampiri supir taksi itu, bertanya basa-basi. Akhirnya supir taksi itu mengerti maksud pembicaraanku. Baguslah.

"Maaf mba, saya tidak bisa mengantar sampai tujuan. Saya lupa membawa ban cadangan." Kata supir taksi itu. Memohon maaf.

"Oh baiklah, ini saya bayar setengahnya." Perempuan itu mengeluarkan dompet, hendak memberikan uang.

"Aku sudah membayarnya." Ucapku, dia menatapku bingung. Aku tetap mengajaknya untuk ku antar, hendak menolak namun gagal.

"Tenang saja, aku kan mengantarmu pulang." Aku tersenyum sinis. Hari ini kita bermain.

Aku berjalan menuju suatu tempat. Villa milikku ditengah hutan dan dekat perbukitan, dia bingung kemana aku akan membawanya.

"Kemana kita? Kau bilang akan mengantarku pulang. Ini bukan arah rumahku, seharusnya kita belok kanan." Dia terlihat mulai panik, aku ingin tertawa sekencang-kencangnya.

"Tenang saja, aku hanya ingin menyelesaikan masalah denganmu. Aku bukan pengecut yang menyelesaikan masalah tanpa bertemu." Aku tersenyum licik. Aku mengendarai mobil seperti biasa, kecepatan penuh. Aku menyukai kecepatan, tantangan, dan darah.

Hanya butuh waktu 45 menit untuk sampai di villa persembunyianku. Begitulah aku menyebutnya. Villa itu sederhana menurutku, bercat coklat susu, garasi untuk dua mobil, dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tv, dapur yang lengkap dengan kitchen set dan dibelakang terdapat kolam renang. Aku biasa menghabiskan waktu sendirian disini, sendiri yang teramat nyaman bagi duniaku.

Hari ini aku menggunakan kaos putih polos yang pas dibadan, celana blue jeans ketat, dan sepatu converse putih. Aku melepas kacamata dan melemparnya sembarangan, pecah. Perempuan dibelakangku terhenti langkahnya, aku membalikkan badan dan tersenyum penuh kemenangan.

"Selamat datang diruang bermain." Aku mengatakan kata bermain yang penuh ambigu, aku senang melihat wajah bodohnya itu.

"Apa yang akan kau lakukan?!" Wajahnya panik, dia mundur perlahan menuju pintu. Namun sayang, aku sudah lebih dulu menguncinya. Aku tertawa penuh kemenangan, sudah waktunya.

"Wanna play?" Senyumku merekah, aku mengikat rambut panjangku yang bergerai, mengambil pisau kecil yang aku simpan disaku celana. Memainkan pisau itu diwajahku, dan sukses membuatnya mematung.

"Aku tidak suka urusanku diacak-acak oleh orang lain! Kau tahu? Aku lebih tidak suka jika anak kecil sepertimu memancing permainanku!" Aku mengarahkan pisau ke wajahnya, dia perlahan menangis.

"Kau adalah perempuan bodoh, kau memancing kemarahanku! Dan sekarang, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!" Aku mencekik lehernya, kakinya menendang perutku, aku menatapnya garang. Aku membenturkan kepalanya, namun aku lengah, punggungku dihantam dengan vas bunga. Darah membanjiri kaos putih yang aku kenakan, sempurna berubah warna menjadi merah. Perempuan itu berhasil lolos dari cengkramanku, dia berlari menuju dapur. Amarahku meningkat, nyeri dipunggungku tidak membuat semangat bermainku hilang. Lihat saja siapa yang nantinya menang.

Aku berjalan menuju dapur, bersenandung dan berjalan santai dengan kaos penuh darah. Sepertinya permainan mulai sengit.

"Hai anak kecil, dimana kamu? Apa permainan kita kali ini petak umpat?" Aku tertawa licik, menggores tembok dengan pisau. Langkahku semakin dekat dengan dapur, aku melihatnya sedang terisak dibawah meja makan.

"Aku menemukanmu anak manis." Aku menarik lengannya lalu melemparnya ke sudut ruangan. Kepalanya berdarah, aku semakin bersemangat untuk bermain. Aku tertawa meremehkannya.

"Perlu kau tahu, anak kecil sepertimu bukan tandinganku. Aku biasa dibayar untuk membunuh manusia-manusia berbadan besar, memiliki banyak ajudan dan tak memiliki hati. Dan kau! Kau adalah anak kecil kurang ajar yang berani mengusik hubunganku!" Aku membenturkan kepalanya sekeras mungkin, mencengkram bajunya dan dia terisak kesakitan.

"Percuma kau menangis, villa ini sengaja aku buat ditengah hutan. Tidak ada orang, tidak ada yang mendengar. Ini tempat persembunyianku!" Aku tertawa getir, hatiku teriris. Pengkhianatan itu, kebohongan itu seperti sebuah film yang memutar secara baik. Aku berteriak, aku menangis.

"Aku adalah wanita yang tidak pernah merasakan cinta sesungguhnya! Aku...aku ini menyedihkan! Bahkan..bahkan pekerjaanku sekarang tidak memiliki rasa kasihan! Aku seorang pembunuh bayaran! Itu rahasia terbesarku" Aku menangis, seorang pembunuh bayaran yang telah membunuh banyak orang menangis hanya karena kebencian terhadap cinta. Perempuan itu masih menangis, namun tatapan matanya terkejut dan memohon ampun.

"Korbanku selanjutnya adalah kau. Icha. Kau yang memulai permainan denganku Lexa, maka kau juga yang akan mengakhirinya." Tangisku berubah menjadi tangis kebencian, aku menatapnya penuh amarah, dia mulai histeris, memohon ampun. Namun sayang, perempuan perusak kebahagiaan seperti dia harus dimusnahkan.

"Jangan menangis, AKU TIDAK SUKA WANITA MUNAFIK SEPERTIMU MENANGIS DIHADAPANKU!" Aku menghapus air matanya dengan baik, pisau yang ku pegang sempurna menancap dimata kirinya. Ia menjerit kesakitan, darah mengalir menggantikan tangis menjijikan itu. Aku mencabut dengan kasar pisau itu, memainkan darah yang tersisa disana. Pisau itu ku arahkan lagi ke wajahnya.

"Ayo bicara! Dasar cengeng! Kau hanya berani lewat telfon, mana mulutmu! PENGECUT! Mana omonganmu yang merendahkanku! Tunjukkan!" Aku berteriak, dia hanya menangis. Masih tidak mau berbicara, amarah, benci, sakit hatiku memuncak dan meledak. Kali ini pisau itu merobek mulutnya hingga ke pipi. Darah semakin banyak, mengenai celana dan sepatuku. Dia memegang mulutnya yang robek, beberapa menit kemudian hening. Aku telah membawanya pulang.

Permainan selesai

Psychopath GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang