Alfa sudah merebut Bunda dan Ayah selama sepuluh tahun terakhir. Sejak, sejak Bunda membawanya pulang ke rumah ini. Dan hari ini. Hari dimana seharusnya Zia mendapat perhatian lebih dari Bunda dan Ayah. Alfa juga merebutnya!
Tak diragukan lagi, Alfa punya kemampuan untuk merebut perhatian Bunda dan Ayah yang luar biasa. Baru tadi pagi Zia bertemu dengan ayahnya yang lama kini sudah harus hilang lagi karena Alfa sekarat. Lebih baik Alfa mati saja kalau terus begini! agar Bunda dan Ayah tetap di bawah kekuasaan Zia.
***
Di dinding kamarnya Zia melihat sebuah foto yang terpajang rapi dengan pigora etnik. Dalam foto itu ada 5 orang. Zia diapit Alfa dan Dustan, kakak-kakak adopsinya, sementara Ayah dan Bunda ada di belakang mereka. Semakin Zia melihat foto itu semakin Zia ingin menghancurkannya.
Harusnya di sana hanya ada 3 orang. Harusnya rumah ini hanya dihuni tiga orang. Harusnya hidupnya hanya diisi oleh dua orang. Rumah ini terlalu sempit untuk mereka.
Zia mengambil foto itu. Mengangkatnya ke udara, bersiap untuk membanting foto itu ke lantai. Belum sempat Zia membantingnya handphone-nya berbunyi. Zia meletakkan lagi foto itu di tempatnya lalu mengangkat telepon.
“Zee…” Kata orang di seberang. Dustan.
“Ya?”
“Bagaimana ujiannya? sukses?” Suara Dustan bergetar, seperti orang yang baru saja menangis.
Zia mengingat-ingat. Sabtu lalu Alfa berpamitan pergi ke luar kota dengan Dustan. Akhir-akhir ini dua kakak Zia memang bersifat di luar kebiasaan. Setiap sabtu pagi selalu berangkat, entah kemana. Yang pasti jadwal yang sudah tersusun rapi : Sabtu pagi berangkat, minggu malam pulang.
Untuk keperluan kampus? tak mungkin. Mereka beda semester, beda jurusan, beda fakultas. Kalaupun karena ada acara dari wanala—UKM yang mereka ikuti—tak mungkin sampai tiap minggu.
Ekspresi yang mereka tampakkan kalau sudah pulang selalu sama. Letih, kecewa. Seperti belum menemukan yang mereka cari. Tapi minggu berikutnya saat berangkat ekspresi mereka berubah lagi menjadi semangat yang tak akan pernah padam. Apa yang mereka cari?
Pernah sekali Zia tak sengaja mendengar pembicaraan mereka dari balik dinding kamarnya, kamar Zia dan Alfa memang bersebelahan. Tak jelas, hanya kalimat-kalimat aneh yang tak bisa dimengerti Zia.
“Kita kemana nih besok?” Kata suara berat yang Zia kenal sebagai suara Dustan.
“Ke Jombang,” Jawab suara parau, jelas milik Alfa.
“Jadi, di Jombang ada dia? Ini bener ‘kan?”
“Aku juga nggak tahu dia ada di Jombang atau nggak.”
“Kalau dia ada di Jombang, kamu mau apa?”
“Mau Apa gimana?”
“Ya, apa yang bakal kamu lakuin?”
Zia mendengar Alfa mendesah lalu berkata untuk terakhir kali, “Nggak tahu.”
Apa sih yang mereka cari sebenarnya?
***
Dan hari ini, kebiasaan aneh itu berakhir tragis. Zia memang tak tahu kenapa Alfa bisa sekarat, Zia hanya tahu perasaan Dustan yang sangat sedih. Mendengar suara Dustan di seberang telepon membuat Zia ingin menangis, suaranya mengiris hati. Zia tak pernah mendengar Dustan sesedih ini.
“Lumayan sukses.” Zia menelan ludah, “Kamu dimana sekarang?”
“Di rumah sakit.”
Hening menyerang. Zia tak tahu harus bertanya apa lagi. Dustan tak ingin bertanya apa-apa lagi. Zia benci situasi ini. Dustan dan Alfa sangat dekat selama ini. Dia bisa membayangkan bagaimana rupa Dustan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
semper apertus
Teen FictionKarena otak manusia diciptakan untuk memilah-milah yang namanya kenangan, Zee. Ada kenangan yang sangat ingin kita ingat tapi tetap tidak bisa, ada kenangan yang ingin kita lupakan tapi tak bisa. Juga ada kenangan yang sempat hilang tiba-tiba muncul...