Part 5

31.1K 1.3K 56
                                    

     Semua hampir berjalan baik-baik saja. Hampir... karena sungguh, tidak ada kata baik-baik saja dalam hidupku ketika aku mulai memikirkan waktu kapan aku kehilangan Varo. Entahlah... walau tak mau mengakui, benar kata Alex, aku tak mungkin selamanya menjadi seorang wanita simpanan.

Seperti sepandai-pandainya topai melompat, namun akhirnya akan jatuh juga. Hubungan kami tak mungkin selamanya aman. Suatu saat nanti, pasti akan tiba masanya semua ini terungkap, dan Varo ditempatkan pada posisi untuk memilih. Aku tau, aku bukanlah pilihan... jika aku tidak kalah oleh Lissa, aku pasti kalah oleh kedua anaknya yang aku tau adalah hidup Varo. Varo menyanyangi mereka melebihi apapun juga.

Pagi ini tidak seperti pagi biasanya. Mataku enggan untuk terbuka. Bukan karena aku masih terlelap, karena jika aku membukanya, semua akan terlihat berputar dan akan membuatku mual. Seluruh tulangku terasa sakit dan menggigil. Bahkan bad cover tebal yang aku kenakan menutupi dari ujung kaki sampai dagu pun terasa tak berguna. Seolah dingin itu berasal dari tubuhku yang anehnya bersuhu panas.

Aku berbaring miring, menekuk lututku sampai ke dada. Meringkuk seperti janin di dalam rahim. Sebenarnya dari kemarin aku merasakan tidak enak badan, tapi aku mengabaikannya. Aku harus menelpon Lissa untuk memberitahunya jika aku tidak masuk kerja hari ini. Namun tubuhku terasa engan bahkan hanya untuk meraih ponsel di nakas, tak jauh jauh dari tempatku berbaring.

Terserahlah... semalam Varo bilang jika siang ini dia akan datang ke sini untuk mengambil salah satu setelan jas resminya untuk makan malam bersama klien malam nanti. Dan nanti aku akan memintanya mengetikan pesan singkat dari ponselku. Dan ponsel itu tidak akan meraung-raung jika dengan kesal Lissa terus menelponku, karena setiap kali mau tidur, aku selalu mengubahnya menjadi mode senyap.

Sampai pada akhirnya aku tak sadar sudah berapa lama aku berbaring seperti itu. Yang aku tau, saat seseorang memasuki kamarku, aku merasa sudah tak kuat menahan rasa sakit yang semakin menderu tubuhku.

"Bening? B? Bangun B... apa kamu bisa mendengarku?" suara itu menembus kabut kegamanganku. Antara sadar dan tidak, aku merasakan lengan yang merengkuhku. Sebilah tangan yang memeriksa suhu tubuhku dengan menyentuh kening. "Badanmu sangat panas!" katanya lagi. Varo? Itu pasti Varo. Siapa lagi yang bisa masuk kamar ini selain dia? Aku ingin memanggilnya, namun hanya rintihan yang mampu keluar dari bibirku.

Sekuat tenagaku, aku membuka mata. Aku ingin melihatnya walau dengan pandangan buram sekalipun. Biasanya, hanya dengan kehadiran lelaki itu, dalam suasana apapun aku akan menjadi lebih baik.

"Kamu mendengarku, Bening?" tanyanya lagi setengah panik.

"Ya..." jawabku dengan nafas terengah. Lebih baik... wajah itu mulai tercetak dalam pandangan sayuku yang berkabut. Namun... itu bukan Varo. Itu... Alex! Alex? Bagaimana lelaki itu bisa masuk? Bagaimana jika Varo datang nanti?

"Untuk... untuk apa... kamu kesini?" tanyaku diselingi dengan nafas pendek-pendek. Aku mencoba melepaskan diri dari lengannya, namun aku terlalu lemah untuk menopang tubuhku sendiri. Hingga aku menyerah.

"Aku hawatir, B! Dari pagi kamu tidak bisa dihubungi. Dan aku tau dari kemarin jika keadaanmu tidak baik."

"Jam... jam berapa sekarang?"

"Hampir jam tujuh malam."

Jam tujuh malam? Itu berarti Varo sama sekali tidak datang. Pasti ada salah satu rapat, atau pekerjaan yang mengharuskannya untuk tetap berada di kantor. Apa dia membeli jas baru? Atau hanya datang dengan pakaian seadanya? Walau yakin pakaian seadanya dia tidak akan mengecewakan sama sekali.

Dia pasti menelpon, atau mengirim pesan singkat. Namun untuk saat ini aku tidak ingin melihat ponsel. Sakit pada tubuhku bahkan melebihi rasa kecewa yang sudah terlalu sering aku rasakan sehingga sudah tak berasa lagi. Kecewa untuk apa lagi?

BENINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang