Part 2

46.2K 1.9K 63
                                    

Bening POV

     Rasa sepi ini membelengguku. Memang, kepastian dalam hidup adalah ketidak pastian. Namun, ketidak pastian dalam kisahku membuatku begitu muak untuk mencintai. Mencintai dia yang menjadi milikku hanya dalam diam.

     Lelaki itu telah pergi beberapa saat lalu, meninggalkanku dalam kehampaan yang luas, yang sulit diisi walau dengan banyaknya uang dan barang yang telah ia beri. Tidak  bisakah? Tidak bisakah dia hanya menyerahkan dirinya seutuhnya? Aku tidak membutuhkan kemehawan ini... kemewahan yang aku pikir dulu bisa mebahagiakanku. Aku hanya membutuhkannya.

     Beranjak, aku memakai gaun malamku yang sedikit minim. Aku memutuskan untuk datang ke sana. Tempat di mana aku bisa sedikit berkeluh kesah. Di mana orang-orang yang kesepian, datang untuk sedikit menghibur diri.

     Musik menghentak, lampu warna-warni yang gemerlapan, memang menarik untuk menjadi pijakan orang-orang yang butuh penghiburan. Sedikit alkohol yang katanya bisa menengkan. Bagiku, justu alkohol bisa semakin menunjukan betapa menyedihkannya aku. Duduk sendiri, merenung, ini adalah hidupku.

     Dua gelas long island yang sudah masuk ke dalam tubuhku, mulai berefek. Biaasanya aku akan berhenti sanpai di situ, lalu pulang. Namun malam ini aku justru memesan gelas ke tiga. Aku tak tau mengapa, malam ini kesepianku terasa mencekik, membuatku bahkan sulit untuk bernafas.

     “Sendiri?” sapa seseorang, duduk di sisiku, di bangku bar yang sedikit tinggi itu.

     Aku bahkan hanya melirik sekilas ketubuhnya. Ini hal yang biasa. Seringkali ada lelaki yang mungkin berfikir aku bisa tersentuh hanya dengan basa-basi yang basi. Bukan berarti aku bisa tersentuh. Namun biasanya aku tidak mempeduliken mereka, sampai mereka pergi dalam diam, atau sedikit mengumpatku.

     “Yang biasa, Tom,” katanya pada bartender yang berdiri di balik meja marmer hitam panjang ini.

     Kenal dengan Bartenter, memesan minuman yang biasa, membuatku tau, jika biasa juga dia menghampiri wanita yang duduk sendiriran sepertiku. Berjudi, untuk menang atau kalah, mendapatkan wanita yang menarik perhatiannya untuk menghiasi tempat tidurnya malam ini. yang jelas, dia tak akan rugi seandainyapun dia kalah. Toh, dia biasa mencari mangsa yang lain. 

     “Kamu nampak sendiri. Tidak bisakah dua orang yang sendirian saling bicara? Paling tidak, itu tidak membuat kita nampak menyedihkan di tempat yang meriah ini.”

     Seorang pejuang yang tak mudah menyerah rupanya.

     Aku tetap diam, tak memedulikannya.

     “Aku sering melihatmu. Kamu hanya duduk, minum dua gelas paling banyak, lalu pulang.”

     “Lalu kenapa sekarang kamu mengganggu ritualku? Silahkan pergi, dan hanya melihatku dari kejauhan. Atau, jangan mempedulikan aku seperti aku tidak mempedulikanmu.”

     Lelaki itu terkekeh. “Jika kamu ingin terbebas dari kesepian itu, bukan begini caranya. Karena, setelah kamu kembali kerumah, rasa sepimu pasti bertambah, berkali-kali lipat.”

      “Apa yang kamu tau tentang kesepian dan apa yang kamu tau tentang aku?” aku menoleh, gusar dengan omongan lelaki itu.

      Aku tak begitu terkesan dengan ketampanannya. Lelaki dengan wajah seperti itu biasanya mudah memperdaya hanya dengan sebuah senyuman dan kata-kata manis. Sedikit banyak aku cukup tau. Atau hanya sok tau. Yang jelas, dia pasti menyadari betapa wajahnya bisa memperdaya wanita manapun yang ia inginkan.

     “Aku tau... karena aku juga merasakan hal yang sama.”

     “Asal kamu tau, aku tidak terkesan dengan cara pendekatanmu yang sudah ketinggalan jaman itu. Senasib dan sepenanggungan sudah tidak menarik di mata wanita. Karena jika wanita itu merana, dia tidak menginginkan pasangan yang merana juga.”

BENINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang