[5] Bus Damri

8.4K 1K 71
                                    

"Iya, emang." Gian masih saja tertawa. "Lucu yah. Cuman karena gue asik ngobrol sama lo, gue sama sekali nggak khawatir gini besok ulangan. Padahal gue belum belajar."

"Haaa iya jugaaa. Wah Gian. Sori banget gue jadi ganggu lo." Lea mulai menampakkan wajah seriusnya.

Gian tersenyum santai. "Yaudah, sebagai gantinya lo bantuin gue belajar aja sekarang." Gian terkekeh.

Lea tersenyum lagi. "Kita belajar bareng aja, mau nggak?"

"Hmm," jawab Gian mengangguk dengan senyuman.

--

[5] Bus Damri

ANA mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kuat. Air wastafel yang tadi ia basuh ke wajah sudah tak lagi mempan mengusir rasa kantuknya. Kaki Ana melangkah lambat berjalan di lorong sekolah, merasa enggan untuk kembali ke dalam kelas mengikuti sisa pelajaran yang ada.

Teng teng teng

Baru saja Ana berniat mengumpulkan sisa semangatnya, bel kelas sudah berbunyi. Semburat bahagia menyertai wajahnya yang berkulit sawo matang, menampikan lesung tipis pada pipinya. Cepat-cepat ia berjalan menelusuri sisa perjalanan, disertai riuh yang sudah mulai terdengar dari setiap kelas yang ia lewati.

"Lo abis pingsan atau ketiduran di toilet sih?" tanya Lea dengan bibir yang ditekuk, begitu dirinya mendapati Ana menghampiri meja mereka.

Ana terkekeh. "Males gue pelajaran Pak Subaya hari ini bikin ngantuk. Mana matematika pula. Kan gue nggak suka," jawab Ana seraya memasukkan benda-benda miliknya ke dalam tas.

Sreeet

Lea menarik resleting tas ranselnya. "Huuu. Emang sejak kapan coba seorang Ana nggak ngantuk pas pelajaran Pak Subaya?" Lea menyindir.

Ana tertawa kecil menampilkan deretan gigi putihnya.

"An, gue hari ini baliknya nggak bareng sama lo yah. Biasa lah ada les," ujar Lea.

Ana mengangguk. "Lo les bareng Ega kan ya?" tanya Ana ringan.

Lea sejenak berpikir, kemudian wajahnya terperanjat saat menemukan sesuatu dalam ingatannya. "Ah iya! Pantes aja gue ngerasa ada yang lupa." Lea menepuk dahinya membuat Ana menampilkan rasa penasaran. Lea seketika tersenyum jahil. "Ehem, jadi, sekarang ada apa nih antara lo sama Ega? Sampe doi dateng ke rumah bawa martabak segala."

Gadis dengan rambut terikat ala buntut kuda itu tertawa kecil. "Ciyeee Lea kepo ciyeee." Ana kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

Lea bergerak menyusul Ana. "Jadi, waktu itu ada apa nih si kampret-nya Ana itu bawa-bawa martabak segala?"

"Ma-u-ta-uuu aja," jawab Ana dengan kekehan.

Lea terus mengikuti langkah Ana yang mulai lebih cepat. "Ah, jadi gue nggak usah nunggu pensi ya buat tau siapa si doi-nya lo itu? Orangnya si kampret kan, kan, kan?" Lea tersenyum kecil.

"Yakin nih nggak mau tau dari mulut gue terus bikin asumsi sendiri?" Ana tersenyum menyeringai.

Lea mengerutkan dahinya, berpikir. Ini bukan kali pertama Ana membuatnya penasaran. Sahabatnya yang satu itu--Ana--sudah sering sekali jahil pada dirinya. Kali ini Lea merasa tidak mau kalah dengan membiarkan dirinya terus bertanya. Dia akan pura-pura tidak tertarik sampai hari pensi nanti tiba. "Oke deh, gue nggak akan kepo lagi. Awas ya kalau nanti pensi nggak bilang."

LeAna [8/8 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang