Diam-diam, aku berjalan ke arah yang berlawanan. Cepat-cepat aku melangkah agar tidak ada yang melihatku. Aku berjalan terus, terus, dan terus. Tanpa arah dan tujuan, entah ingin kemana. Aku hanya ingin cepat menjauh dari mereka. Tak sanggup memperlihatkan wajahku yang kacau menahan tangisan keluar.
Hingga akhirnya, aku merasakan ada tetesan dari atas sana. Hujan. Rintik gerimis yang mengundang sendu. Aku, tanpa naungan pelindung diri dari hujan itu hanya bisa terus berjalan dengan baju yang mulai kebasahan. Hingga akhirnya aku teringat satu hal.
"Yah, cokelat yang udah susah-susah gue bikin akhirnya nggak bisa Gian makan."
--
[7] Teman(?)
LEA
AKU menghirup napas seraya menengadahkan wajahku ke langit. Silau, alasan yang cukup untuk aku kemudian menutup mata dan kembali menunduk. Pagi-pagi begini matahari sudah giat menyapaku di langit sana. Cerah. Berbeda dengan perasaan hatiku saat ini.
Aku tahu, mataku sayu. Bukan karena tidak bisa berhenti menangis, tapi karena aku semalaman tidak bisa tidur. Iya, iya. Aku bohong kalau bilang tidak menangis sama sekali. Tapi dibandingkan dengan bersedih, aku lebih sulit untuk tidur karena terus berpikir. Pikiranku merayap ke sana ke mari.
Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk aku diam-diam tertarik dengan seorang laki-laki 'kan? Bodohnya aku, aku yang selalu memperhatikannya justru tidak tahu apapun. Aku tidak pernah tahu kalau dia menyukai temanku, orang yang justru selalu bersamaku.
Hhh. Bahkan, untuk mengingatnya saja hatiku sudah sakit.
"Lea!" seru seseorang membuyarkan pikiranku. Aku pun menoleh.
Deg
Aku hanya bisa diam terpaku dengan apa yang aku lihat. Ana sedang berlari kecil ke arahku sambil tersenyum. Satu hal yang aku tahu, Ana tidak salah. Ana tidak pernah salah. Tapi, kenapa untuk menyambutnya dengan hangat pun rasanya sulit?
"Tumben lo baru dateng jam segini, Le? Biasanya kan lebih pagian lagi." Ana menyenggol lenganku dengan lengannya.
Aku masih saja diam seraya berjalan dengannya yang mengikuti langkahku menuju kelas.
"Oh iya!" Ana menepuk dahinya sendiri seperti mengingat sesuatu. "Lea! Lo kemana pas pentas seni? Katanya mau ketemuan?! Kok lo malah nggak ada sih? Segala telpon sama chat gue aja nggak lo respon!" Ana menggerutu.
Aku tak memberikan jawaban apapun. Bingung. Rasanya semua hal yang seharusnya bisa aku jawab dengan mudah, tiba-tiba menjadi sulit untuk keluar. Aku hanya bisa duduk di bangkuku kemudian pura-pura sibuk menyiapkan buku.
"Lea jawab ih pertanyaan gueee," rengek Ana.
"Selamat pagi, anak-anak." Suara pak Subaya terdengar dari arah pintu. Aku bahkan tak menyadari kalau bel tanda masuk sepertinya sudah berbunyi.
Ana mendengus kesal dengan kedatangan guru matematika itu. Berbanding terbalik denganku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa senang dengan kehadiran pak Subaya saat aku sedang mengobrol dengan Ana.
.
.
--
Beruntung sekali hari ini ada praktek biologi setelah pelajaran matematika. Kebetulan aku berbeda kelompok dengan Ana sehingga bisa dengan mudah menghindarinya. Begitu lah pikirku. Tapi ada satu hal yang aku lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LeAna [8/8 End]
Short Story[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN] Apa yang akan terjadi saat kamu menyembunyikan sesuatu dari sahabatmu? Lea dan Ana, dua teman baik ya...