One

29.9K 1K 22
                                    

EMILIEVERE
(Chapter 1)

Casts : Emilievere Morgan, Naveen Phillip Brahmwell, Arthur McGuire, Gwen Phelps.

SATU per satu ember-ember kayu itu mulai terisi oleh air yang mengucur dari lubang yang sengaja dibuat untuk menyalurkan sumber air dalam tanah. Jari-jari pekerja yang nyaris lentik itu terus memompa handle kayu untuk terus memaksa air keluar dan mengisi ember-embernya dengan penuh. Dirasanya cukup dengan membawa dua ember yang semakin berat menuju dapur istana Whitelot. Menaiki beberapa anak tangga, membuat jari-jarinya lecet karena tambang yang digenggamnya. Dia tak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Tak ada kata lelah dalam benaknya. Semua ini dia lakukan untuk bertahan hidup. Meskipun hidup tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa kejelasan yang pasti. Jadi takkan masalah baginya jika ia mati saat ini juga. Tak ada yang harus ia pertanggungjawabkan. Tak ada yang harus ia tanggung. Tak ada. Apapun itu.

"Emily..!"

Dia berhenti. Satu kata itu seperti kata kunci yang bisa membuatnya berhenti melakukan aktivitasnya meskipun hanya sebentar. Emilievere menaruh kedua ember yang ia tenteng tepat disampingnya. Ia berbalik melihat siapa yang meneriakkan namanya.

"Biarkan aku yang membawanya, Emily," tawar laki-laki dihadapan Emilievere. Emilievere menggeleng lemah.

"Tak perlu, Jacob. Aku bisa membawanya sendiri. Lagipula aku hampir sampai."

"Lihat tanganmu..." Jacob meraih tangan Emilievere dan membalikkannya. Telapak tangan Emilievere lecet, memerah dan kapalan. "Kau ini wanita. Tak seharusnya kau membawa ember-ember ini. Sudah biarkan aku saja yang membawanya."

Emilievere memutar bola matanya dan mendesah pelan. "Baiklah, tapi hanya kali ini saja. Besok-besok kau tak harus membantuku karena ini pekerjaanku."

Tepukan sandal kayu dan lantai semen yang diperhalus terus menggema diseluruh ruangan. Tawa Emilievere dan Jacob ikut mengiringi. Beberapa obor yang terpasang pada dinding dibiarkan tetap menyala sepanjang waktu sebagai penerang. Tak ayal jika dindingnya berwarna hitam akibat kobaran asap dari api pada obor. Tidak ada jendela yang bisa menyalurkan sang surya untuk masuk kedalam ruangan. Ruangan ini tertutup layaknya penjara. Dingin dan lembab.

"Terimakasih Jacob. Untuk ember-ember ini," ucap Emilievere ketika mereka sampai didepan pintu kayu. Mereka berhenti didepan ruangan resmi Emilievere. Tempat dimana sepanjang hidupnya ia habiskan ditempat itu.

"Sama-sama. Uh... kurasa aku harus pergi sekarang," jawab Jacob dan Emilievere mengangguk pelan. Kedua manik matanya menyaksikan punggung Jacob yang semakin lama semakin lenyap menuju kegelapan.

Emilievere membuka pintu kayu dan sesosok wanita tua berambut putih dengan sendok sayur ditangan kanannya menatap tajam kearah Emilievere. Dia tampak tak sabar menunggu air yang ia pesan. Diraihnya lilitan tambang pada ember, lalu tangannnya mengangkat ember itu. Membawanya masuk dengan cepat.

"Maafkan aku Mrs. Beth, aku harus menunggu giliran untuk mendapatkan air-air ini."

"Kau hanya terus saja beralasan seperti ini. Kau bisa memberitahu mereka jika kau ini pembantu istana. Pasti mereka akan menyingkir. Jika terjadi sesuatu setelah ini, kau yang harus menanggungnya."

Emilievere hanya menyeringai kecil tanpa menjawabnya. Baginya meladeni setiap kalimat Mrs. Beth seperti menyaksikan induk burung yang mengerami telurnya hingga menetas. Memakan waktu lama. Membosankan. Mrs. Beth selalu diandalkan di istana dan dia juru masak terbaik dan tertua yang pernah dimiliki istana.

***

Mangkuk-mangkuk putih tanpa goresan ataupun retakan sedikitpun itu tersaji diatas meja makan kayu yang besar dengan beberapa makanan diatasnya. Makanan yang tak pernah sekalipun habis dalam sekali makan. Makanan yang nantinya hanya akan berakhir ditempat sampah. Istana tak pernah memikirkan kehidupan diluar sana. Keluarga kelaparan yang membutuhkan makanan untuk mengisi kerongkongannya yang kosong dan kering. Hidup memang tak adil.

EMILIEVERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang