CHAPTER ONE

60 3 1
                                    

Carmen Amanda Erculj – Paris, France.

308 langkah yang terbuang..

Berjalan tanpa tujuan menyusuri jalanan kota Paris yang bertemankan cahaya redup lampu – lampu jalanan yang tertutupi salju. Aku seolah tenggelam dalam lautan manusia yang tak peduli akan eksistensiku. Ya, ratusan orang berjalan lalu lalang dengan canda dan tawa masing – masing. Oh, rasa iri itu menghampiriku lagi. Kapan aku bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka? terutama seperti para gadis – gadis 'berutung' yang bergelayutan di tangan pasangan mereka masing – masing.

Banyak orang bilang bahwa Paris adalah kota cinta – dimana setiap sudutnya menyimpan kisah cinta tersendiri. Jutaan orang dari seluruh penjuru dunia datang ke Paris hanya untuk membuktikan hal tersebut, termasuk diriku ini. Seorang gadis yang di besarkan di sebuah kota kecil di tanah Slovenia yang jauh disana. Tujuanku utamaku bukanlah semata – mata untuk membuktikan kekuatan cinta yang menjadi mantra penjaga kota Paris melainkan untuk mencari kepingan – kepingan berharga untuk melanjutkan hidupku di kota yang penuh kasih ini. Sebuah keputusan terbesar yang pernah kuambil dalam hidupku – meninggalkan hangatnya kasih sayang kedua orang tuaku serta sejuknya udara khas pegunungan.

Tapi tunggu, mengapa aku terus berjalan tanpa tujuan yang pasti seperti sekarang ini?

Kurasa aku merasa sedikit bingung saat ini, butuh sedikit 'penyegar' yang bisa membantuku bangkit dari kekalutan yang terus mendera tak henti - hentinya. Aku merogoh saku celana jeansku, meraih ponselku untuk mencari tahu dimana tepatnya aku berada sekarang ini. Cafe – kata itu yang langsung terbersit di dalam benakku saat ini. Mengapa aku bisa sebodoh ini? ada ratusan Cafe yang berjajar rapi di sepanjang jalanan kota Paris yang menganggumkan – hanya tinggal memilih, tak perlu repot – repot mencari tahu lewat google maps atau gps.

Setelah berdiri mematung sekian lama, aku memutuskan untuk berjalan menuju sebuah cafe yang terletak tepat di persimpangan jalan. Sebuah cafe kecil yang nampak sepi – hanya ada seorang pengunjung yang tengah duduk di meja pojok, sibuk dengan laptopnya sambil sesekali meneguk secangkir kopi yang ia pesan. Wajahnya nampak asing – tak terlihat seperti orang Eropa pada umumnya. Rambut hitam dengan potongan aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya, hidung mancung yang nyaris sesempurna pahatan Michael Angelo serta kedua mata jernihnya yang dihiasi oleh manik berwarna kayu manis yang menciptakan perpaduan sempurna dengan sorot tajamnya. Siapa gerangan pria itu? terlihat sangat asing namun menarik.

Aku memasuki cafe itu dengan langkah yang ragu. Sedikit gugup ketika lonceng berbunyi dan pria asing itu menoleh ke arahku – hanya sekilas dan ia kembali sibuk bergelut dengan laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan.

Seorang pelayan cafe berambut pirang datang menghampiriku dengan senyuman ramahnya. "Excusez-moi mademoiselle. Anda ingin memesan apa?" ia berkata dalam bahasa inggris yang aneh – ya, memang sedikit kurang jelas lebih tepatnya seperti orang yang sedang berkumur.

Aku melirik ke arah pria asing itu sebentar, namun ia tetap fokus pada laptopnya. Entah ada perasaan aneh apa yang bergelenyar dalam diriku saat ini, aku sendiri tak tahu pasti namun yang bisa kubaca adalah aku ingin agar pria asing itu menatapku. Rasa penasaran yang bergebu – gebu dalam diriku, ingin menatap kedua mata kayu manisnya yang cemerlang itu. "Maaf nona, anda ingin memesan apa?" tanya pelayan itu lagi yang membuat segala fantasiku buyar.

"Secangkir espresso dan kue cokelat," aku menjawab singkat tanpa mengalihkan pandanganku pada sosok pria asing yang bahkan namanya saja aku belum tahu. Jangan bodoh Carmen. Jangan pernah kau jatuh cinta pada seorang pria asing, batinku. Berusaha untuk menekan perasaan gila yang hampir berhasil menguasaiku.

Pelayan wanita itu tersenyum ramah, "Tunggu sebentar nona.." ia berkata ramah kemudian melenggang meninggalkanku.

"Secangkir kopi lagi.." tiba – tiba aku mendengar suara berat yang asing menyapa kedua indera pendengaranku. Aku menoleh, menuju ke arah pria itu lagi. Sial, suaranya bahkan jauh lebih merdu ketimbang nyanyian para malaikat surga di atas sana. "Tanpa gula.." ia menambahkan ucapannya ketika salah seorang pelayan lain mendatangi tempat duduknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang