The End of Us?

4 0 0
                                    

Di hari jumat pagi, tiga puluh menit sebelum bel tanda masuk berbunyi aku memasuki kelas. Aku memandang sekeliling dan mendapatinya sedang duduk bercengkerama dengan temannya.

"Selamat pagi Ndra? Udah ngerjain pr? Pinjem boleh kan? Bolehlah ya, kamu kan baik?" Rengekku pada Tama begitu aku sampai di bangku Tama

"Berisik!" Balas Tama ketus, namun langsung mengambil bukunya dan menyodorkannya kepadaku.

"Oke makasih." Cup. Satu kecupan dari bibirku mendarat di pipi Tama. Pipiku langsung memerah malu.

"Kebiasaan!" Ucapnya laki-laki itu dingin dan tak bernada.

"Kebiasaan kamu kali! Kenapa sih berubah? Kenapa sih nggak kayak dulu lagi? Nggak perlu kok berubah kayak gitu biar aku benci sama kamu!" Balas Sasa kesal "sebel tau nggak sih Ndra? Kamu itu berubah! Kamu itu bukan Indra yang aku kenal dulu!"

Lalu dengan cepat aku kembali ke bangkuku, tanpa mengambil buku dari Tama. Sebenarnya, aku sudah mengerjakan pr, bukan Sasa Pradinata namanya kalau aku tidak mengerjakan pr. Bagaimana tidak? Aku ini adalah peraih juara dua ranking paralel di sekolahku? Setelah Tama tentunya.

Aku salah apasih? Tanyaku pada diri sendiri. Tanpa melirik Tama, aku langsung berjalan keluar kelas dan ijin ke guru yang mengajar bahwa aku kurang enak badan dan ingin beristirahat di UKS.

•••

Sekarang aku sedang duduk di ayunan tepatnya di halaman belakang rumahku. Aku sudah memantapkan hatiku untuk menjauhi Indra. Aku sudah memikirkan masak-masak pada saat aku berada di UKS tadi. Saat sedang enak-enaknya berpikir, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari parfumnya, aku tau itu Tama. Aku sudah hafal diluar kepala dengan aromanya. Segera aku memasang wajah datar. Dan benar, sekarang ia berjongkok di depanku dan meraih kedua tanganku untuk ditangkupnya.

"Sa?"

"..." Aku mengunci rapat mulutku

"Sa? Sorry." Ucapnya lirih sambil memaksaku menatap tepat dikedua matanya

"Nggak perlu." Ucapku

"Sa, aku serius minta maaf" aku hanya menarik satu sisi mulutku. Basi.

"Aku udah bilang nggak perlu. Kamu yang mau aku jauhin kamu kan? Yaudah aku mau jauhin kamu. Trus kenapa kamu kesini? Kenapa malah kamu yang nyamperin aku? Udahlah, nggak penting" ucapku dingin, menutupi perasaan remuk redam dalam hatiku seraya menahan tangis yang segera keluar.

"Tau jalan keluarnya kan? Aku mohon baik-baik kamu keluar, kamu pulang sekarang. Maaf, nggak maksud ngusir. Tapi kita emang nggak kenal. Eh, sorry, nggak ada kata 'kita' ya buat aku sama kamu. Yaudah, pokoknya aku mohon sama kamu kamu pulang." Lanjutku sambil menarik kedua tanganku dan berdiri. Aku ingin ke kamar. Sekarang. Aku tak bisa menjamin tangisku tidak pecah, jika aku masih berhadapan dengannya.

"Sa, maafin aku? Plis, kamu jangan kayak gini ke aku. Kamu tau kalo aku sayang sama kamu, kamu tau aku cinta sama kamu. Tapi kamu lebih tau daripada aku sendiri kalau orang pertama yang akan aku bahagiain itu Mamah. Aku nggak bisa Sa kayak gini trus. Aku tersiksa tau nggak. Kamu masih nyuri-nyuri perhatian sama aku, tanpa kamu ngelakuin itupun aku juga bakal memperhatikan kamu. Kamu masih sering godain aku, tanpa kamu ngelakuin itupun hati aku masih buat kamu." Katanya panjang lebar. Aku hanya terdiam. Namun dengan kurang ajarnya satu tetes air lolos dari kelopak mataku. Aku tersenyum geli pada diriku sendiri. Cengeng. Bodoh. Useless.

"Aku sayang banget sama kamu Sa. Tapi aku nggak bisa deket-deket kamu dulu. Aku butuh waktu buat nata perasaan aku Sa. Perasaanku bukan perasaan yang mudah ilang gitu aja. Tapi aku nggak pengen kamu ngejauh dari aku. Kita butuh waktu untuk menata hati kita masing-masing. Kalau waktu itu tiba, pasti kita bisa damai lagi. Kita bisa kayak dulu. Dengan perasaan sayang yang berbeda tentunya."

"Kenapa ini harus terjadi sama kita sih Ndra? Kenapa Tuhan nyiptain hati kalau cuma buat disakitin? Kenapa Tuhan mempertemukan kita kalo akhirnya kayak gini? Kenapa Tuhan nyiptain perasaan aku ke kamu segini kuat Ndra? Kenapa?" Satu persatu airmata lolos meluncur dengan indahnya dari mataku. "Aku bingung Ndra. Aku nggaktau mau bersikap kayak gimana? Andai aku bisa ya Ndra, aku milih pura-pura nggaktau dan pura-pura nggak perduli. Tapi apa Ndra? Aku nggak bisa!" Aku menangis sesenggukan untuk pertama kalinya di hadapan Tama. Langsung saja ia memperkecil jarak antara aku dengannya dan menarikku. Mendekapku. Tangisku makin pecah.

"Sshhh... Aku ngerti, aku juga berharap kayak gitu. Tapi kita tau kita nggak bisa. Kamu nggak boleh nyalahin Tuhan. Karena semuanya udah dirancang menurut rencanyanya yang paling baik untuk kita semua. Aku juga sakit, asal kamu tau." Jeda. Ia menangkup kedua pipiku. Aku yakin seyakin-yakinnya wajahku sangat berantakan saat ini.

"Munafik!" Ucapku lirih didepannya, sedang dia hanya tertawa getir.

"Aku tahu. Kita hanya bisa bersikap munafik bukan? Lihat, mata kamu bengkak, lingkar bawah mata kamu jadi tebel, mukamu merah. Kamu itu nangis aja masih lucu ya?" Ia tertawa, aku tau itu tawa paksaan. Ia mengusap lembut pipiku, dan menghapus jejak airmata yang masih menempel di pipiku.

"Denger, kamu sayang kan sama Papah kamu? Aku juga sayang sama Mamah. Kamu mau Papah kamu bahagia kan? Begitu juga aku Sa. Kalau aku mau, aku bisa aja bersikap egois dan datengin Mamah aku terus bilang kalau anak laki-laki yang akan menjadi Papah aku itu pacar aku. Anak dari laki-laki yang akan menjadi Papah aku itu adalah wanita yang paling aku sayang setelah mamah tentunya. Aku bisa Sa, sangat. Karena aku tau Mamah akan lebih memilih mengalah untukku. Tapi aku nggak bisa. Aku tau kamu juga nggak bisa. Jadi biarkan kali ini aja, kita berkorban ya buat kebahagiaan mereka berdua?" Ucapnya lagi, suaranya seperti orang frustasi dan menahan tangis. Benar dugaanku, Tak lama Mata Tama mengeluarkan cairan bening, satu tetes, lalu diikuti tetesan-tetesan lain. Tanganku dengan cepat menghapusnya.

"Jangan nangis Ndra. Ya, kali ini aja. Aku pengen bahagiain Papah. Aku harus terima. Kita. Kita harus terima, kita harus kuat." Sebuah senyum lemah terbersit di wajah kami berdua "Jangan nangis dong, kayak cewek aja. Ntar bikin aku ikutan nangis lagi nih." Ucapku, dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku menghapus jejak airmatanya

Tangannya turun dan dilingkarkan ke pinggangku "Kita bisa jadi adek kakak kan? Aku jadi kakaknya, kamu jadi adeknya ya? Kan duluan aku lahirnya." Katanya masih dengan aku yang berada di dekapannya sambil menyentil hidungku. Aku hanya tertawa hambar.

"Indra? Sasa?" Suara berat yang familiar menginterupsi kami. Sepertinya aku kenal suara ini. Bukankah ini suara milik Papah? Eh? Papah? Kami segera saja dengan salah tingkahnya melepas pelukan.

Aku menatap laki-laki berumur 40 tahunan tapi masih terlihat tampan, masih dengan jas kantornya. Terlihat tatapan kecewa, sedih, atau entahlah. "Kalian ngapain? Bener yang tadi Papah denger? Kenapa kamu nggak cerita kalau kalian sebenarnya sepasang kekasih? Kenapa kalian membuat Papah dan Tante Bella menjadi penjahat di cerita ini?" Papah menghela nafas berat. Aku hanya menunduk dalam sambil sesekali menghapus airmata yang lagi-lagi turun dari kedua mataku. Sedangkan Tama, dia menatap Ayahku dengan tatapan menyesal dan terluka. Saat Tama akan mengucapkan sebuah kalimat, tangan Papah naik keatas tanda bahwa ia tak mau disela.

"Baiklah. Karena kejadian ini baru Papah ketahui. Papah minta maaf pada kalian. Papah rasa, papah akan memikirkan rencana pernikahan Papah dengan Tante Bella lagi. Tapi Papah juga berharap kalian berfikir lagi apa yang harus kalian lakukan. Papa pergi dulu" ucap Papah lalu beranjak dari halaman belakang rumah. Entah pergi kemana.

Aku tak tau apakah aku harus bahagia, lega atau malah sedih? Aku bahagia dan lega Papah sudah mengetahui hubunganku dengan Tama. Tapi hubungan ini salah. Tapi disisi lain,Aku sedih, takut, dan bingung, aku menyakiti Papah dan Tante Bella, aku yakin Tama juga merasakan hal yang sama. Tapi inilah yang terjadi. Apapun nanti keputusan Papah, kami akan menerimanya. Dengan ikhlas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 30, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

It Could (not) Be UsWhere stories live. Discover now